JAKARTA. Pemenuhan kebutuhan bahan baku masih selalu menjadi kendala emiten farmasi. Kurang tersedianya bahan baku dalam negeri membuat emiten farmasi terpaksa mengimpor bahan baku. Padahal, kondisi ini akan sangat membebani perusahaan ketika posisi rupiah tengah melemah terhadap dollar AS.Tengok PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) yang pada 2013 lalu mencatat kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 19% menjadi Rp 3,05 triliun. Jika dirinci lebih lanjut, porsi beban pokok terhadap pendapatan KAEF pun meningkat menjadi 70% dari sebelumnya 68%.Alhasil, laba bersih yang ditenggak KAEF menipis. Untuk tahun 2013, margin sekitar 4%, sementara pada tahun 2012 perseroan masih menikmati margin sekitar 5%.Sebenarnya, ada strategi yang bisa menjadi katalisator paparan meningkatnya beban pokok akibat pelemahan rupiah, yakni riset bahan baku obat. Untuk jangka panjang, cara seperti ini mampu menghemat beban pokok karena emiten yang bersangkutan tak perlu impor bahan baku lagi.Lihat saja, emiten farmasi kuar negeri biasanya menganggarkan biaya riset sekitar 20% dari total anggaran belanja (capex) setiap tahunnya. Untuk di Indonesia, hanya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang punya anggaran tersebut, itu pun jumlahnya masih kecil."Tapi, untuk saat ini kami belum bisa menjalankan strategi tersebut karena posisi industri kami berada di tengah-tangah," tandas Djojo Rusdianto, Sekertaris Perusahaan KAEF belum lama ini.Jika berbicara secara makro, obat merupakan hilir dari produksi farmasi. Tapi, hulu bisnis tersebut justru berada di industri kimia dasar, bukan emiten farmasinya itu sendiri. Sementara, mayoritas pelaku industri kimia dasar juga masih mengimpor bahan baku dari luar negeri.Namanya bisnis, siapa sih, yang mau rugi. Karena rupiah melemah, impor kimia dasar semakin mahal, sehingga pelaku industri kimia dasar menjual produksinya dengan harga yang lebih tinggi. "Jadi, selama di industri kimia dasar masih banyak mengimpor bahan baku, kami juga tidak bisa bergerak banyak," tambah Djoko.Jadi, strategi yang paling logis untuk dilakukan dalam jangka pendek ini adalah dengan ekspansi pabrik. Tahun lalu, KAEF menganggarkan biaya riset sekitar Rp 34 miliar-Rp 40 miliar untuk melakukan riset pengolahan garam farmasi bersama ahli terkait untuk membuat produk dengan basis kimia (chemical grade), contohnya seperti produk kecantikan stem cell.Semua kajian dan penelitian yang dilakukan telah mengerucut pada suatu titik dimana produk chemical grade bisa dibuat secara masal, dengan skala produksi. Oleh sebab itu, KAEF tahun ini punya alokasi dana Rp 50 miliar khusus untuk pemdirian pabrik garam farmasi di Mojokerto, Jawa Timur.Djoko bilang, produk olahan garam farmasi memiliki margin yang lebih tinggi jika dijual di pasar. "Dan kedepannya, tidak menutup kemungkinan kami akan mengembangkan produk bukan hanya chemical grade, tapi juga food grade," pungkasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bahan baku impor, margin KAEF tertekan
JAKARTA. Pemenuhan kebutuhan bahan baku masih selalu menjadi kendala emiten farmasi. Kurang tersedianya bahan baku dalam negeri membuat emiten farmasi terpaksa mengimpor bahan baku. Padahal, kondisi ini akan sangat membebani perusahaan ketika posisi rupiah tengah melemah terhadap dollar AS.Tengok PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) yang pada 2013 lalu mencatat kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 19% menjadi Rp 3,05 triliun. Jika dirinci lebih lanjut, porsi beban pokok terhadap pendapatan KAEF pun meningkat menjadi 70% dari sebelumnya 68%.Alhasil, laba bersih yang ditenggak KAEF menipis. Untuk tahun 2013, margin sekitar 4%, sementara pada tahun 2012 perseroan masih menikmati margin sekitar 5%.Sebenarnya, ada strategi yang bisa menjadi katalisator paparan meningkatnya beban pokok akibat pelemahan rupiah, yakni riset bahan baku obat. Untuk jangka panjang, cara seperti ini mampu menghemat beban pokok karena emiten yang bersangkutan tak perlu impor bahan baku lagi.Lihat saja, emiten farmasi kuar negeri biasanya menganggarkan biaya riset sekitar 20% dari total anggaran belanja (capex) setiap tahunnya. Untuk di Indonesia, hanya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang punya anggaran tersebut, itu pun jumlahnya masih kecil."Tapi, untuk saat ini kami belum bisa menjalankan strategi tersebut karena posisi industri kami berada di tengah-tangah," tandas Djojo Rusdianto, Sekertaris Perusahaan KAEF belum lama ini.Jika berbicara secara makro, obat merupakan hilir dari produksi farmasi. Tapi, hulu bisnis tersebut justru berada di industri kimia dasar, bukan emiten farmasinya itu sendiri. Sementara, mayoritas pelaku industri kimia dasar juga masih mengimpor bahan baku dari luar negeri.Namanya bisnis, siapa sih, yang mau rugi. Karena rupiah melemah, impor kimia dasar semakin mahal, sehingga pelaku industri kimia dasar menjual produksinya dengan harga yang lebih tinggi. "Jadi, selama di industri kimia dasar masih banyak mengimpor bahan baku, kami juga tidak bisa bergerak banyak," tambah Djoko.Jadi, strategi yang paling logis untuk dilakukan dalam jangka pendek ini adalah dengan ekspansi pabrik. Tahun lalu, KAEF menganggarkan biaya riset sekitar Rp 34 miliar-Rp 40 miliar untuk melakukan riset pengolahan garam farmasi bersama ahli terkait untuk membuat produk dengan basis kimia (chemical grade), contohnya seperti produk kecantikan stem cell.Semua kajian dan penelitian yang dilakukan telah mengerucut pada suatu titik dimana produk chemical grade bisa dibuat secara masal, dengan skala produksi. Oleh sebab itu, KAEF tahun ini punya alokasi dana Rp 50 miliar khusus untuk pemdirian pabrik garam farmasi di Mojokerto, Jawa Timur.Djoko bilang, produk olahan garam farmasi memiliki margin yang lebih tinggi jika dijual di pasar. "Dan kedepannya, tidak menutup kemungkinan kami akan mengembangkan produk bukan hanya chemical grade, tapi juga food grade," pungkasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News