Bahan baku tekstil terancam langka



JAKARTA. Pembatasan penjualan produk kawasan berikat di pasar domestik maksimal 25% bisa memicu kelangkaan bahan baku tekstil di dalam negeri yang lebih parah. Maklum, produksi bahan baku tekstil berupa serat buatan di dalam negeri masih terbatas. Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto berpendapat, semestinya tidak semua jenis produk kawasan berikat dimaksimalkan untuk ekspor. "Terutama untuk bahan baku tekstil, industri di dalam negeri bisa kekurangan," ucap Panggah. Bahan baku tekstil yang sangat dibutuhkan di dalam negeri serat buatan seperti polyester dan serat rayon. Kebutuhan industri sangat besar dan baru sebagian terpenuhi di dalam negeri. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat melihat selama ini dengan penjualan dari kawasan berikat 50% untuk ekspor dan 50% ke pasar domestik, industri di dalam negeri masih kekurangan bahan baku. "Apalagi jika yang diekspor harus sebanyak 75%," tutur Ade. Sebagai gambaran pada 2010, kebutuhan serat buatan termasuk polyester dan rayon secara nasional mencapai 1,76 juta ton. Sedangkan penjualan serat buatan oleh perusahaan lokal di pasar domestik hanya sebesar 857.986 ton. Artinya kebutuhan yang tidak tercukupi dan harus diimpor sebanyak 713.670 ton terdiri dari polyester staple fiber sebanyak 39.702 ton, rayon viscose sebanyak 104.382 ton dan serat buatan lainnya sebesar 686.888 ton. Perusahaan penyuplai bahan baku serat rayon utama di dalam negeri adalah PT South Pacific Viscose (SPV). Produk dari SPV, mayoritas dipergunakan untuk memasok industri tekstil di dalam negeri. SPV merupakan perusahaan serat rayon terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah karyawan 6.000 orang. Perusahaan itu berstatus kawasan berikat di kota Purwakarta. Meski demikian, lokasi pabrik tidak berada kawasan industri. Padahal dalam aturan yang baru, kawasan berikat harus berada di kawasan industri. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Ansari Bukhori mengatakan sebaiknya pembatasan penjualan ke pasar domestik maksimal 25% jangan dulu diberlakukan. "Jangan saat ini karena pasar sedang lemah akibat krisis global," kata Ansari. Selain itu, Ansari berharap aturan wajib kawasan berikat harus berada di kawasan industri sebaiknya diberi masa transisi yang lebih lama hingga lima tahun. Sedangkan dalam PMK 147, masa transisi agar kawasan berikat relokasi ke kawasan industri hanya sampai 2014 akhir. Dari pertemuan di kantor Menko Perekonomian pekan lalu, menurut Ansari, Menkeu Agus Martowardojo akan memberikan penjelasan mengenai kebijakan kawasan berikat yang baru ke kalangan pengusaha dalam waktu dekat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: