JAKARTA. Euforia yang dirasakan market terkait hasil kebijakan
tax amnesty yang dijalankan pemerintah hanya berlangsung sesaat. Kemenangan Donald Trump pada pemilihan umum presiden AS mengubah segalanya. Saat kemenangan Trump dideklarasikan, pasar keuangan negara berkembang -termasuk Indonesia- langsung terpukul dalam. Nilai tukar rupiah yang tadinya sudah menembus ke level 12.000 per dollar, terdepresiasi ke kisaran 13.000 per US dollar. Di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan ikut terjun bebas. Bahana Securities menilai, kondisi market Indonesia mendapat katalis negatif dari kemenangan Trump dan kegaduhan politik dalam negeri, kendati data fundamental ekonomi terbilang kinclong. Mempertimbangkan hal tersebut, Bahana Securities menghitung ulang outlook nilai tukar rupiah, indeks dan saham-saham yang layak dikoleksi hingga tahun depan.
''Kita belum tahu pasti seperti apa kebijakan yang akan diambil AS karena kabinet presiden terpilih pun belum ketahuan, tapi market udah lari duluan. Sementara itu, aksi demo yang terjadi pada bulan ini menambah risiko politik di dalam negeri yang membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi," ungkap Kepala Riset dan Kebijakan Strategis Bahana Securities Harry Su. Dalam catatan Bahana, ada dana sekitar Rp 10 triliun yang sudah hengkang dari pasar obligasi (bond market) dan sekitar Rp 8 triliun keluar dari pasar saham (equity market) hanya dalam dua hari saja. Kondisi ini yang mengakibatkan rupiah terdepresiasi cukup tajam, meski bank sentral sudah melakukan stabilisasi pasar. Padahal, hasil riset Bahana memperlihatkan, setiap rupiah terdepresiasi sebesar 1%, maka pertumbuhan pasar saham akan tergerus 0,9%. Hampir seimbang dampaknya. Tak heran, saat rupiah melemah, indeks saham juga ikut melorot. Bahana memutuskan untuk merevisi ke bawah perkiraan level nilai tukar sampai akhir tahun ini dari yang tadinya di kisaran level 12.800 karena melihat keberhasilan program
tax amnesty, menjadi ke level 13.200 setelah hasil Pilpres AS diumumkan. Perkiraan 2017, karena Trump sudah akan membentuk kabinetnya dan siap bekerja, rupiah diperkirakan hanya akan berada di kisaran 12.800. Padahal tadinya Bahana meyakini, nilai tukar mata uang Garuda ini akan menguat ke kisaran 12.000 per dollar AS. ''Pemerintah masih harus tetap waspada karena volatility masih akan membayangi pasar keuangan Indonesia. Pasar masih menanti susunan kabinet presiden terpilih dan bagaimana kinerja Trump selama 100 hari pertama. Kalau bisa jangan lagi ditambah dengan persoalan di dalam negeri, Indonesia perlu segera membenahi diri terutama dengan persoalan politik," terang Harry. Dengan melemahnya nilai tukar, perkiraan indeks pun tidak luput dari koreksi ke bawah. Tadinya Bahana memperkirakan indeks akan berada pada level 5.600 pada akhir tahun ini. Namun karena kegaduhan di pasar global dan situasi politik yang masih menghantui pasar domestik, indeks mungkin hanya akan berada dikisaran 5.200. Perkiraan tahun depan, IHSG diramal hanya akan berada di kisaran 5.900 dari prediksi sebelumnya yang dipatok 6.600. Fundamental Indonesia kuat Untuk menahan hantaman eksternal ini, menurut Harry, sebenarnya Indonesia sudah memiliki pondasi yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di 5%, saat ekonomi negara-negara lain masih lesu. "Sehingga meskipun nantinya Trump merealisasikan janji kampanyenya yang akan lebih melindungi produksi dalam negeri AS, Indonesia masih bisa tumbuh dari konsumsi rumah tangga yang masih menjadi motor penggerak utama perekonomian di dalam negeri," paparnya. Harry menambahkan, jika pemerintah bisa fokus membenahi serapan anggaran khususnya untuk infrastruktur, maka dua hal ini sudah bisa menjadi senjata pamungkas atas kekhawatiran pasar pasca kemenangan Trump.
Di sisi lain, keamanan politik juga tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus bisa menciptakan iklim politik yang kondusif untuk membuat investor kembali percaya berinvestasi di Indonesia. ''Bagi investor asing, kestabilan politik menjadi isu penting dalam melakukan investasi. Reformasi pajak masih harus terus dilanjutkan untuk menurunkan corporate tax rate dari, sehingga Indonesia bisa lebih kompetitif dibanding Singapura," paparnya. Informasi saja, saat ini
corporate tax rate Indonesia sekitar 25%. Dengan reformasi pajak, diharapkan level ini bisa turun ke kisaran 17% - 18%, sehingga meskipun nominalnya turun, namun akan tumbuh dari sisi volume, yang pada akhirnya penerimaan pajak tetap akan naik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie