Bahlil: Penerapan Global Minimum Tax Hanya Untungkan Negara Maju



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta implementasi Global Minimum Tax (GMT) agar ditinjau kembali. Pasalnya, penerapan GMT hanya akan menguntungkan negara-negara tertentu, dalam hal ini negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.

"Dengan adanya ketentuan pajak minimum global tadi, maka akan mempengaruhi insentif investasi. Dari kesepakatan tadi memutuskan ini perlu kajian ulang. Jangan sampai ini diimplementasikan kemudian menguntungkan satu kelompok negara tertentu. Ini kita nggak mau," tutur Bahlil dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/8).

Hal ini disampaikan Bahlil dalam agenda ASEAN Economic Ministers' Meeting (AEM), di Semarang, Sabtu (19/8) lalu.


Dia menjelaskan, penerapan GMT saat ini belum apple to apple antara negara maju dan berkembang. Negara maju harus membuka ruang bagi negara berkembang untuk menarik investasi untuk mencapai kemajuan.

Baca Juga: Indonesia-Vietnam Aktifkan Lagi Kerjasama Bilateral di Sektor Perdagangan

“Kita ingin agar negara maju juga harus memberikan ruang bagi negara berkembang untuk mempercepat penyesuaian dirinya sehingga ketika penerapan tax income global, sudah apple to apple ,” tegas Bahlil.

Menurutnya untuk menarik investasi, negara berkembang saat ini masih membutuhkan pemanis. Sehingga kebijakan perpajakan negara maju tidak bisa dipukul rata dengan negara berkembang. Hal ini juga sudah dikaji di Indonesia.

Selain itu, bila GMT diterapkan terlalu dini maka akan mengganggu program hilirisasi yang sedang digalakkan pemerintah. Sebab, investor negara maju akan kembali berinvestasi ke negara asal mereka.

"Tax minimum global yang 15% itu maka tidak mau negara berkembang yang lagi mendorong hilirisasi, akan mengalami hambatan besar karena pemilik modal yang punya teknologi dan menanamkan modal itu kemudian akan berinvestasi di negara mereka," papar Bahlil.

Selain itu, kebijakan GMT akan memaksa negara-negara berkembang untuk mengirim bahan baku ke negara negara maju. Sehingga GMT ini tidak lebih dari akal-akalan negara-negara maju.

"Ilmu ini (akal-akalan) kita sudah paham. Jangan lagi anggap kita tak paham," ucap Bahlil.

Senada, Menteri pada Kantor Perdana Menteri dan Menteri Keuangan dan Ekonomi II Brunei Darussalam Dato Dr. Amin Liew Abdullah juga menyatakan bahwa aturan GMT ini justru semakin tidak menyeimbangkan kondisi persaingan.

Menurutnya, negara-negara berkembang masih perlu meningkatkan daya saing. Aturan GMT ini tidak hanya berdampak pada negara ASEAN saja, tetapi juga pada negara yang berkembang lainnya.

Baca Juga: Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN ke-55 Selesaikan 5 Capaian Prioritas Ekonomi ASEAN

“Kita perlu mempertimbangkan perbedaan kondisi tiap negara yang unik dan juga memastikan semua negara memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan dan menciptakan pertumbuhan ekonominya masing-masing,” ucap Amin.

Berbanding terbalik, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati justru menyebut berbagai negara kini tengah bersiap menerapkan kesepakatan pajak minimum global (global minimum tax).

Sri Mulyani mengatakan sejauh ini Indonesia masih menggunakan insentif fiskal untuk meningkatkan daya saing investasi. Menurutnya, berbagai skema insentif fiskal tersebut juga terus diasah agar efektif menarik investasi.

“Ini yang akan menjadi salah satu fokus karena dunia sekarang juga mulai melaksanakan perpajakan global secara bertahap yang bertujuan mengurangi berbagai insentif fiskal untuk mencegah race to the bottom ,” katanya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, dikutip pada Selasa (6/6).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi