KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan sebesar Rp 450 triliun per tahunnya dihabiskan untuk impor minyak dan gas, terutama untuk kebutuhan
liquefied petroleum gas (LPG). "Hari ini devisa kita setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp 450 triliun hanya untuk membeli minyak dan gas untuk khusus LPG," kata Bahlil, Rabu (11/9). Bahlil menuturkan impor migas yang membengkak ini disebabkan konsumsi LPG Indonesia kurang lebih sekitar 7 juta ton dan industri dalam negeri hanya memiliki kapasitas produksi 1.9 juta ton saja sehingga sisanya impor untuk memenuhi kebutuhan LPG masyarakat.
Baca Juga: Kepala BKPM Bahlil Sebut Izin Usaha Hotel Sultan Telah Dicabut Untuk mengatasi impor migas yang membengkak ini, pemerintah ke depan akan membangun industri LPG dengan memanfaatkan potensi C3 C4 sebagai bahan baku LPG. Bahlil menegaskan agar ke depan Indonesia bisa memiliki kemandirian dalam energi. Sebab, pada saat tergabung sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), lifting minyak Indonesia mampu sekitar 1,6 juta barel per hari atau
barrel oil per day (BOPD), sementara konsumsi 700.000 BOPD. Untuk itu, Bahlil menyebut pemerintah akan mendorong lifting minyak dengan beberapa strategi di antaranya eksplorasi terhadap potensi sumur-sumur minyak baru, optimalisasi sumur-sumur minyak yang ada dan mengidentifikasi untuk mengoptimalkan potensi sumur-sumur idle yang masih produktif. Catatan Kontan, fluktuasi harga minyak amat dipengaruhi oleh konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang terbuka antara Iran dan Israel akan berdampak pada harga minyak yang naik sehingga subsidi energi Indonesia bisa membengkak mencapai Rp 600 triliun.
Baca Juga: SKK Migas Sebut Penyebab Produksi Minyak Menurun Tiap Tahun Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan, ketegangan di wilayah Timur Tengah dengan adanya perang terbuka antara Iran dan Israel berdampak pada kenaikan harga minyak bisa mencapai US$ 60. Sebab, Iran menguasai Selat Hormuz yang memegang peran penting dalam perdagangan. Selat Hormuz ini berpengaruh terhadap 40%-50% perdagangan minyak global. Untuk diketahui, harga minyak dunia saat ini berada di kisaran US$ 72 per barel untuk minyak mentah berjangka Brent. Dengan demikian, apabila terjadi peningkatan harga hingga US$ 60, maka harga minyak mentah bisa tembus ke posisi US$ 132 per barel. "Itu hanya kenaikannya saja. Jadi, kalau harga minyak saat itu katakanlah US$ 60 begitu, itu bisa menjadi US$ 120. Padahal saat itu sudah US$ 85 begitu ya, ditambah US$ 60 berarti lebih besar lagi. Nah sementara bagi kita, kita ini sudah dalam posisi
net importer, artinya menjadi
price taker," ungkap Komaidi di Jakarta, Selasa (10/9). Menurut Komaidi, Indonesia sebagai
price taker tidak bisa menghindari harga minyak yang melonjak akibat perang Iran dan Israel lantaran tidak memiliki kontrol sama sekali.
Baca Juga: Jadi Menteri ESDM, Bahlil Sebut Perpanjangan IUPK Freeport Segera Rampung "Di pasar minyak dunia, itu volume per harinya itu mendekati 95 juta barel. Indonesia itu konsumsinya 1,5 juta barel. Jadi kita itu hanya sebagian kecil dari konsumsi global. Artinya apa? Kita itu tidak punya daya sama sekali untuk bisa mengontrol harga," tutur Komaidi. Komaidi menambahakan, perang terbuka Iran-Israel berisiko besar pada APBN yang harus ditanggung untuk menambah subsidi yang besarannya sekitar Rp 600 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli