Baja Indonesia berharap arena bertarung seimbang



JAKARTA. Industri baja Indonesia masih menyimpan harapan bersaing di pasar Asia Tenggara. Ada dua keunggulan dari industri baja nasional ini jika dibandingkan dengan industri baja dari negara Asia Tenggara lain.

Pertama, struktur industri baja Indonesia yang sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir. Kedua, produksi baja Indonesia peringkat dua besar Asia Tenggara. Atas dasar inilah, Irvan Kamal Hakim, Chairman Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) berkesimpulan, industri baja Indonesia punya peluang menguasai pasar Asia Tenggara. "Thailand tidak punya industri iron making seperti Indonesia," klaim Irvan.

Sebagai gambaran, industri hulu baja adalah industri iron making, mengolah bijih besi menjadi iron. Selanjutnya pembuatan steel making menjadi slab atau billet baja. Ada juga proses hilir membuat hot rolled coil (HRC) atau cold rolled coil (CRC). 


Mengacu data Organization for Economic Corporation and Development (OECD), Indonesia dan Malaysia punya kapasitas produksi steel making 10 juta ton per tahun. Ini tercatat sebagai produksi terbesar kedua setelah Vietnam dengan kapasitas 11,7 juta ton.

Meski unggul, bukan perkara mudah bagi Indonesia untuk ekspor. Sejak 15 tahun lalu, Indonesia tak bisa ekspor baja ke Thailand karena dituduh dumping. Malaysia memberlakukan hal serupa November 2014 lalu. 

Instrumen perdagangan ini membuat baja Indonesia sulit menembus pasar Asia Tenggara. Di sisi lain, baja Thailand dan Malaysia bebas merambah Indonesia. "Pemerintah Malaysia dan Thailand melindungi industri bajanya," ujar Irvan. 

Persoalan lain sektor baja adalah, ketergantungan impor. Mengacu data South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) pada 2013, Indonesia impor 8,19 juta ton baja atau 65% dari total kebutuhan 12,69 juta ton.

Kondisi ini juga dialami negara Asia Tenggara lainnya (lihat tabel). Walaupun sama-sama ketergantungan impor, namun kompetitor telah bikin strategi, salah satunya wajib pakai baja dalam negeri, seperti yang dilakukan Malaysia.

Adapun Indonesia, alih-alih bikin strategi, yang ada industri baja berhadapan dengan kenaikan tarif listrik sampai 68% di 2014. Kondisi ini memperlemah daya saing industri baja nasional. "Kami minta pemerintah bikin kebijakan yang sama dengan kebijakan baja negara kompetitor," keluh Irvan.

Irvan mencontohkan, jika negara kompetitor bikin kebijakan wajib pakai produk dalam negeri, Indonesia harus bikin kebijakan serupa. 

Namun, Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian berdalih, masalah dari industri baja Indonesia hanya ada dua. Pertama bahan baku yang 70% impor, kedua tarif listrik naik. "Cost structure industri baja ada di dua hal ini," ujar Harjanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto