Bakal rampung Desember, RUU EBT dinilai berpotensi bebani negara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) ditargetkan bakal rampung di Desember tahun ini.

Kendati demikian, salah satu ketentuan menyoal kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) dinilai berpotensi membebani beban fiskal negara.

Anggota Komisi VII DPR RI Andi Yuliani Paris menilai perlu ada keseriusan dalam pembahasan RUU EBT. Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi badan usaha milik negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara hingga masyarakat. 


Andi mengungkapkan ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan masukan publik. 

"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40 disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik energi terbarukan. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi dalam Diskusi Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jumat (13/8).

Baca Juga: Kementerian ESDM sebut 50% kebutuhan listrik di Merauke berpotensi dipasok dari EBT

Andi melanjutkan, pada poin berikutnya dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk memberi tenaga listrik yang dihasilkan. Dalam ayat kedua terkandung kata dapat, bisa dimaknai berbeda.

"Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," jelas Andi.

Andi berpendapat,  kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan berpotensi justru akan menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN.

Karena harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP PLN. Sehingga ada risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi.  

"Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," imbuh Andi.

Pengamat Ekonomi Energi ITS, Mukhtasor menjelaskan, idealnya politik keekonomian yang tepat bagi Indonesia, ialah pembangunan dari atas ke bawah. Menurutnya, adanya kewajiban bagi BUMN membeli listrik dari pembangkit EBT, menimbulkan dua dampak, yakni risiko kelebihan pasokan listrik, dan risiko kenaikan biaya pokok produksi listrik.

Di sisi lain, persoalan lain ialah pada pasal 51 RUU EBT terkait kewajiban pemerintah membayar selisih pembelian dari pembangkit EBT, dalam bentuk kompensasi. 

Baca Juga: Pertamina targetkan kontribusi EBT meningkat hingga 17% pada tahun 2030

"Maka APBN akan mendapatkan tekanan tambahan. Kalau APBN dalam kondisi kaya raya mungkin kita optimistis, tetapi kalau APBN sekarang, kan sedang terbeban untuk membiayai penanganan Covid-19," ungkap Mukhtasor.

Mukhtasor menambahkan, apabila anggaran negara terbatas, maka ada risiko pemerintah tidak dapat membayar kompensasi. Dengan begitu, langsung berdampak pada potensi kenaikan harga listrik yang ujung-ujungnya akan membebani masyarakat.

"Maka kalau perekonomian akan tertekan, artinya perekonomian akan terganggu," pungkas Mukhtasor.

Selanjutnya: Perkuat layanan dengan teknologi, PLN Batam kenalkan advanced metering infrastructure

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari