Bakti Kominfo Menargetkan 6.000 BTS Menyala hingga Akhir 2022



KONTAN.CO.ID - LABUAN BAJO. Setelah pandemi Covid-19 mereka, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo memacu pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T) di seantero negeri.

Menurut Anang Achmad Latif, Direktur Utama Bakti, hingga akhir tahun 2022, pihaknya fokus mengejar pembangunan 1.974 base transceiver station (BTS).

Hingga saat ini, Bakti telah membangun sebanyak 4.026 menara BTS yang berfungsi melayani masyarakat luas, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, pemerintahan, hingga pariwisata yang semuanya menuntut keberadaan teknologi digital.


“Pada akhir 2022, kami menargetkan pembangunan 6.000 BTS,” ujar Anang, dalam kunjungannya di BTS Pasir Panjang, Pulau Rinca, Labuan Bajo (13/8).

Baca Juga: Mitratel (MTEL) Serap Capex Rp 12 Triliun di Semester I-2022

Sebenarnya, target yang semula dicanangkan pemerintah adalah membangun 9.000-an BTS. Tapi, kemudian pandemi Covid-19 melanda pada tahun 2000, sehingga target tersebut diturunkan menjadi 6.000 BTS pada akhir tahun ini.

Selain pandemi korona, pembangunan BTS di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal alias 3T ini memang banyak tantangannya. Hal ini lantaran operator tidak mau membangun infrastruktur telekomunikasi digital di daerah yang daya belinya rendah. 

“Mereka baru mau membangun menara BTS kalau hitung-hitungan komersialnya masuk. Kalau bisa dapat minimal 55.000 pulsa sebulan baru mereka mau bangun BTS,” ungkap Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate dalam acara focus group discussion (FGD) dengan para pemimpin redaksi di Hotel Ayana, Labuan Bajo, Minggu (14/8).

Membangun BTS di daerah 3T juga sangat sulit mengingat medan yang berat. Seperti di pegunungan Papua, peralatan dan bangunan harus diangkut dengan helikopter bolak-balik, dan sesudah itu harus diangkut dengan karung menembus hutan dan pegunungan selama beberapa hari.

Bahkan, terkadang risikonya sangat besar. Beberapa waktu lalu, pekerja kontraktor Bakti mengalami musibah karena ditembak mati kelompok bersenjata di Papua.

Tak heran bila pembangunan infrastruktur teknologi yang penub tantangan ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Secara rata-rata pembangunan satu menara BTS butuh sekitar Rp 2,5 miliar.

Sesudah menara BTS dibangun pun, masih muncul permasalahan. Misalnya kekuatan sinyal. Ini mengingat keberadaan teknologi digital ini tidak hanya dibutuhkan masyarakat setempat, melainkan juga untuk kegiatan sekolah, rumahsakit, pemerintahan, hingga pariwisata.

Baca Juga: Dampak Akuisisi Link Net, Opex dan Capex XL Axiata (EXCL) Bisa Dihemat

Perlu akal Abu Nawas

Para operator seluler sendiri sudah berkontribusi dalam bentuk setoran dana universal service obligation (USO) sebesar 1,25% dari penghasilan. 

“Ini tidak bisa kita naikkan, misalnya jadi 2%. Tidak ada yang setuju, karena bisa mematikan industri digital,” ujar Johnny.

Di samping dana USO, Kominfo juga menerima setoran dana izin spektrum frekuensi dari operator. Jumlahnya bisa mencapai Rp 25 triliun.

Namun, dana spektrum frekuensi tersebut masuk ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sehingga dananya tidak bisa langsung dipakai oleh Kominfo secara langsung, melainkan melalui mekanisme penganggaran.

Sementara, anggaran untuk Kominfo malah berkurang di masa pandemi, sekitar Rp 21,6 triliun untuk tahun ini. Dan, mengingat tekad pemerintah untuk menurunkan defisit anggaran, jatah Kominfo bisa jadi turun lagi tahun depan.

Padahal, Kominfo mengemban tugas pemerataan infrastruktur digital yang mestinya menjadi prioritas di era digital ini sebagai infrastruktur dasar. Karena itu Johnny berharap kementeriannya mendapat prioritas anggaran.

Sementara menunggu tambahan anggaran, Johnny berharap agar peluncuran satelit telekomunikasi Satria pada tahun 2023 sukses. Sehingga biaya telekomunikasi digital menjadi murah.

Sekadar informasi, pengadaan satelit Satria ini membutuhkan dana sekitar Rp 14 triliun. Proyek ini bisa berjalan lantaran mendapat pembiayaan dari konsorsium China, yang kemudian dibangun di Prancis, dan akan diluncurkan di Florida AS.

Menteri Johnny G Plate sendiri optimistis target kementeriannya tercapai, yakni tidak ada lagi area blank spot di Indonesia pada 2024. “Membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia itu harus pakai akal Abu Nawas,” ujar politisi Partai Nasdem ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi