KONTAN.CO.ID - Pada Selasa (3/12/2024), Tiongkok melarang ekspor mineral penting seperti galium, germanium, dan antimon ke Amerika Serikat. Mineral penting ini memiliki aplikasi militer yang luas. Larangan tersebut semakin meningkatkan ketegangan perdagangan antara AS dan China, sehari setelah tindakan keras terbaru Washington terhadap sektor chip Tiongkok.
Melansir
Reuters, pembatasan tersebut memperkuat penegakan batasan yang ada pada ekspor mineral penting yang mulai diluncurkan Beijing tahun lalu, tetapi hanya berlaku untuk pasar AS. Ini merupakan eskalasi terbaru ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia menjelang Presiden terpilih Donald Trump menjabat bulan depan. Arahan Kementerian Perdagangan Tiongkok tentang barang-barang penggunaan ganda dengan aplikasi militer dan sipil mengutip masalah keamanan nasional. Perintah tersebut, yang berlaku segera, juga mengharuskan peninjauan yang lebih ketat terhadap penggunaan akhir untuk barang-barang grafit yang dikirim ke AS. "Pada prinsipnya, ekspor galium, germanium, antimon, dan material superkeras ke Amerika Serikat tidak diizinkan," kata kementerian tersebut.
Baca Juga: Adu Kuat Dedolarisasi Versus Kebijakan Proteksi Amerika Serikat Galium dan germanium digunakan dalam semikonduktor. Sementara germanium juga digunakan dalam teknologi inframerah, kabel serat optik, dan sel surya. Adapun antimon digunakan dalam peluru dan persenjataan lainnya. Sedangkan grafit merupakan komponen terbesar berdasarkan volume baterai kendaraan listrik. Langkah tersebut telah memicu kekhawatiran baru bahwa Beijing selanjutnya dapat menargetkan mineral penting lainnya, termasuk yang memiliki penggunaan yang lebih luas seperti nikel atau kobalt.
"China telah memberi isyarat selama beberapa waktu bahwa mereka bersedia mengambil langkah-langkah ini, jadi kapan AS akan belajar dari kesalahannya?" kata Todd Malan dari Talon Metals, yang mencoba mengembangkan tambang nikel di Minnesota dan sedang mengeksplorasi logam tersebut di Michigan. Satu-satunya tambang nikel AS akan habis pada tahun 2028. "Amerika Serikat sedang menilai pembatasan baru tersebut, tetapi akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tanggapan," kata juru bicara Gedung Putih, tanpa memberikan perincian.
Baca Juga: Perlambatan Ekonomi China Berpotensi Beri Dampak pada Pertumbuhan Ekonomi RI Editor: Barratut Taqiyyah Rafie