Bambang Widjojanto gugat status tersangkanya



JAKARTA. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Bambang Widjojanto, menggugat penetapannya sebagai tersangka melalui praperadilan. Kuasa hukum Bambang, Bahrain mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penetapan tersangka termasuk dalam objek praperadilan membuat Bambang maju menggugat Polri atas status hukumnya.

"Penasihat hukum keberatan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polri. Karena MK sudah membuka ruang, kita ajukan," ujar Bahrain melalui pesan singkat, Jumat (8/5/2015).

Bahrain mengatakan, gugatan tersebut didaftarkan kuasa hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (7/5/2015). Menurut dia, penetapan Bambang sebagai tersangka tidak sah karena pasal yang menjerat Bambang berbeda-beda dalam surat penangkapan dan pemanggilan.


"Berubah-ubah pasal-pasal yang dituduhkan dan dengan menggunakan sprindik yang beda dengan pasal yang ada di surat sprindik, surat penangkapan, dan panggilan," kata Bahrain.

Bambang Widjojanto tidak hanya menggugat Polri atas penetapannya sebagai tersangka. Bahrain mengatakan, pihaknya juga menggugat penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri di kediaman Bambang.

Bambang Widjojanto merupakan tersangka perkara dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), 2010 lalu. Ia dikenakan sangkaan Pasal 242 ayat (1) KUHP tentang sumpah palsu dan keterangan palsu juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP juncto Pasal 55 ayat (2) KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana juncto Pasal 56 KUHP tentang dipidana sebagai pembantu kejahatan.

Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Mahkamah menyatakan, pasal yang dimohonkan Bachtiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.

"Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata hakim konsitusi Anwar Usman, membacakan putusan dalam persidangan.

"Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah 'penetapan tersangka oleh penyidik' yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka kepada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas," kata Anwar.

Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa "minimal dua alat bukti" dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka.

Sebelumnya, dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan. Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa