Bangkit lagi bermodalkan hasil penjualan motor (2)



Dalam usianya yang delapan tahun,  Batik Allusan telah menjadi salah satu merek batik yang disegani di segmen menengah atas. Namun, untuk  mencapai kesuksesan tersebut, Sri Lestari harus mengalami perjuangan yang tidak mudah.Sri bercerita, pada awalnya, keluarga besarnya kurang mendukung ia merintis usaha batik. Maklum, pada waktu itu, batik dinilai bukan usaha yang menjanjikan.Bisa jadi, pandangan tersebut tidak tanpa alasan. Soalnya,  ibunya juga berasal dari keluarga perajin batik. “Nenek dan ibu saya adalah perajin batik," kata Sri. Namun, ketika itu, sistemnya masih nitip jual saja di pasar tradisional. Jadi, untungnya tipis, dan bisnisnya tidak berkembang. Akhirnya, ibu berhenti membatik.Meski begitu, ibunya tetap mengajarkan cara membatik sebagai ketrampilan. Dan Sri tumbuh sebagai remaja yang mahir dan cinta membatik, meskipun, hasilnya hanya dipakai sendiri atau dibuat sebagai hadiah. Ternyata, lambat laun, teman-temannya menyukai hasil karyanya.Pada 2000, kata Sri, seorang temannya yang memiliki butik memesan 20 lembar batik tulis untuk dijual di butiknya. Saat itu ia belum profesional sehingga pengerjaannya masih lama. "Butuh waktu tiga bulan untuk menyelesaikan pesanan," kenang perempuan kelahiran Sleman 38 tahun silam ini.Namun kemudian ia  sering diminta membuat batik untuk pameran. Dari situlah namanya mulai dikenal. Batik hasil karyanya sering ludes terjual di pameran. Maka, Sri pun makin serius membatik. Namun  saat itu, ia belum mempunyai merek sendiri.Toh perjalanan tidak mulus. Tahun 2005, usahanya yang sudah mulai membesar terpuruk. Sri enggan menceriterakan masalahnya. Yang pasti, saat itu, seluruh modal dan aset membatik terpaksa dijual. Yang tersisa hanya sebuah motor suaminya.Untunglah, dengan dukungan dari suaminya, Sri bangkit lagi. Bermodalkan hasil menjual motor senilai belasan juta rupiah, usaha batik pun dimulai kembali. Memang tak mudah, sebab ia harus memulai dari awal, termasuk membeli alat-alat membatik dan kain. Sejak itu pula, ia memutuskan untuk menggunakan merek dagang sendiri. "Saya pilih nama Batik Allusan, dan mulai digunakan sejak  25 Maret 2005," ujar lulusan salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sleman, Yogyakarta ini.Berkat kerja kerasnya, hanya dalam beberapa bulan kemudian, ia berhasil membuka Galeri Batik Allusan pertama di Hotel Santika, Yogyakarta.  Popularitas Batik Allusan semakin meningkat ketika  Sri menjadi nasabah PT Permodalan Nasional Madani (PNM) pada 2010. Saat itu, ia mendapat pinjaman usaha senilai Rp 50 juta. Dengan modal tersebut, ia memperbesar kapasitas usaha yaitu dengan memberdayakan warga di sekitar rumahnya. Perajin batik Sri saat ini mencapai 25 orang.Saat ini,  Sri sudah memiliki empat galeri Batik Allusan di Yogyakarta dan Jakarta. Sri sedang mencari investor yang mau bekerja sama untuk membesarkan usahanya. Maklum, ia berambisi membuka lebih banyak galeri. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dupla Kartini