Banjir kontraktor asing



JAKARTA. Masifnya pembangunan di Indonsia ternyata tidak diimbangi dengan ketersediaan kontraktor nasional yang berkualitas. Tak ayal, Indonesia menjadi pasar empuk bagi kontraktor asing lantaran kontraktor lokal kalah bersaing.

Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi) Soeharsojo mengungkapkan, adanya program masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) bak magnet bagi kontraktor asing. "Saya lihat data terakhir ada 258 kontraktor asing, ini mengagetkan. Dukungan MP3EI menjadi pasar empuk bagi kontraktor asing," paparnya.

Sayangnya, banjir kontraktor asing ini tak sebanding dengan peningkatan kontraktor nasional di proyek-proyek luar negeri. Ya, jumlahnya tidak lebih dari delapan kontraktor. Kata Soeharsojo, hal ini menjadi permasalahan bagi kontraktor nasional, selain daya saing yang rendah.


Lihat saja, jumlah kontraktor nasional mencapai 182.800 tapi, proyek pembangunan masih saja lamban. Bandingkan dengan China yang hanya memiliki 64.300 kontraktor tapi pembangunannya cepat sekali. Tapi, Soeharsojo menilai keberadaan kontraktor asing harus disikapi positif dengan menjalin kerjasama.

Pemerintah juga diharapkan berandil dalam meningkatkan daya saing kontraktor lokal, membuka potensi pasar, serta membantu permodalan dengan mendirikan bank nasional di luar negeri. "Ada potensi di Timur Tengah, tapi, permodalan sulit," ujar Soeharsojo.

Namun, Bambang bilang kontraktor nasional juga harus meningkatkan kompetensi dan kapabilitasnya agar menjadi tuan di negerinya sendiri. Kepala Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi Kementerian PU Mochamad Natsir menambahkan, kapasitas kontraktor Indonesia masih belum bisa mengimbagi pertumbuhan ekononomi. "Idealnya pembangunan infrastruktur harus mencapai 8-10% dari pendapatan domestik bruto (PDB)," katanya.

Tahun ini, PDB ditargetkan Rp 7.000 triliun dengan porsi untuk konstruksi sebesar Rp 560- Rp 700 triliun.

Mahkamah Konstitusi (MK) gelar sidang perdana judicial review UU Pemilu pada Kamis (14/6). UU Pemilu digugat oleh dua pemohon, yakni oleh gabungan partai politik dan koalisi LSM. Gabungan partai politik ini kuasa hukumnya adalah Yusril Ihza Mahendra, sementara, koalisi LSM adalah Veri Junaedi. Hakim Konstitusi meminta agar kedua pemohon ini saling berkoordinasi. Harjono, Ketua Hakim Konstitusi menyatakan, karena pasal yang digugat ini sama, yakni pasal 8 tentang ambang batas, maka sidang disatukan. Namun, Harjono meminta agar kedua pemohon ini saling berkoordinasi. Pasalnya, dari pihak gabungan partai ini ingin minta agar dibatalkan, tapi dari koalisi LSM minta ditafsir ulang. “Hakim hanya bisa memutuskan satu saja. Hakim tidak bisa mengabulkan kedua tuntutan itu. Sebaiknya, para pemohon berkoordinasi terlebih dahulu untuk menentukan satu tuntutan saja,” ujarnya. Tim Kuasa Hukum dari gabungan 23 Parpol kecil, Andi M Asrun menyatakan pemberlakuan Pasal 8 merugikan pihaknya. Pemberlakuan kenaikan angka ambang batas secara flat dari nasional sampai ke daerah akan merugikan para gabungan 23 parpol kecil ini. “ Pasal 8 ini jelas banyak suara rakyat pemilih yang akan memilih 23 parpol kecil ini akan hilang begitu saja jika perolehan suara dalam Pemilu untuk DPR tidak memenuhi ambang batas," kata Asrun. Oleh karenanya, Asrun meminta MK menghapus Pasal 8 dalam UU tentangPemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemberlakuan ambang batas secara nasional telah mengingkari kedaulatan rakyat. Sebab, menurut Kuasa Hukum Koalisi LSM, Veri Junaedi, keberadaan pasal ini seperti menghilangkan kebebasan rakyat untuk menjatuhkan pilihan dalam Pemilu. "Berlakunya ambang batas secara nasional dalam Pasal 8 didesain dengan sengaja untuk menganulir pilihan rakyat khususnya di daerah. Alat ukur yang digunakan yakni ambang batas justru perolehan suara keseluruhan di tingkat nasional. Padahal, pilihan pemilih untuk diwakili dalam lembaga perwakilan-lembaga perwakilan daerah tidak selamanya sama dengan pilihan di tingkat pusat," ujar Veri Junaidi. Veri menambahkan, pemberian suara untuk memilih anggota DPR tidak boleh menjadi dasar untuk menentukan keterpilihan anggota DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, Koalisi LSM meminta MK untuk menafsirkan ulang Pasal 8. "Kami meminta MK menyatakan Pasal 8 di dalam frase 'secara nasional' adalah inkonstitusional. Jadi, harus ditafsir ulang, agar maknanya menjadi 'secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota'," ucap Veri. Sehingga, pada intinya, pemberlakuan ambang batas ini tidak ditetapkan secara nasional, tapi secara bertingkat. Yusril Ihza Mahendra yang didaulat sebagai kuasa hukum oleh para gabungan partai-partai kecil ini pun turut hadir walau terlambat karena harus menjadi saksi ahli pada sidang lain. Namun, Yusril tampak buru-buru meninggalkan ruang persidangan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan