JAKARTA. Kinerja industri tekstil domestik terjun payung; baik dari sisi nilai penjualan maupun pangsa pasar. Hal ini disebabkan oleh penetrasi produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestik. "Tekstil impor ini juga termasuk yang selundupan dan produk anti dumping yang masuk ke pasar kita," terang Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno, Rabu (30/12). Ditambah dengan pintu perdagangan bebas atau AC-FTA yang dibuka per 1 Januari 2010 besok, maka industri tekstil nasional bakalan terancam. Nilai penjualan produk tekstil dalam negeri diprediksikan akan menyusut drastis. Hitungannya, bila nilai penjualan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 52 triliun, maka setelah AC-FTA berlaku nilainya bakal terpangkas Rp 5 triliun menjadi Rp 47 triliun. Nah, penyusutan ini bakal terus terjadi hingga 2014 yang dihitung bakal sebesar Rp 39 triliun. Penurunan nilai penjualan produk tekstil dalam negeri ini juga dibarengi dengan pangsa pasar yang mengkerut. Bila tahun 2009 pangsa pasarnya sebanyak 67%, maka tahun depan akan lebih mini, menjadi 55%; dan pada tahun 2014 hanya akan tersisa sebesar 39%. Sementara itu, Direktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Departemen Perindustrian Arryanto Sagala mengakui, pangsa pasar tekstil domestik akan tergerus oleh produk China yang murah, bila proses renegosiasi pos tarif pada skema AC-FTA tidak berhasil. Depperin mengusulkan, mengurangi pos tarif TPT yang awalnya masuk NT-I dari 87 menjadi 53 pos untuk digeser ke NT-II. "Ke 53 pos tarif di NT-I tersebut terdiri dari 44 HS kain dan 9 HS garmen," terang dia. Namun, Depperin mesti menyiapkan kompensasi pergeseran pos tarif tersebut. Kompensasinya, kata Arryanto, sekitar 53 pos tarif yang tadinya masuk NT-II dan HSL digeser menjadi NT-I. Adapun, Normal Track I (NT-I) merupakan kumpulan pos tarif yang berlaku 1 Januari 2010, NT-II mulai 2012, High Sensitive List (HSL) mulai 2020.
Banjir Tekstil Impor, Penjualan Tekstil Domestik Memble
JAKARTA. Kinerja industri tekstil domestik terjun payung; baik dari sisi nilai penjualan maupun pangsa pasar. Hal ini disebabkan oleh penetrasi produk tekstil impor yang membanjiri pasar domestik. "Tekstil impor ini juga termasuk yang selundupan dan produk anti dumping yang masuk ke pasar kita," terang Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno, Rabu (30/12). Ditambah dengan pintu perdagangan bebas atau AC-FTA yang dibuka per 1 Januari 2010 besok, maka industri tekstil nasional bakalan terancam. Nilai penjualan produk tekstil dalam negeri diprediksikan akan menyusut drastis. Hitungannya, bila nilai penjualan tahun ini diperkirakan mencapai Rp 52 triliun, maka setelah AC-FTA berlaku nilainya bakal terpangkas Rp 5 triliun menjadi Rp 47 triliun. Nah, penyusutan ini bakal terus terjadi hingga 2014 yang dihitung bakal sebesar Rp 39 triliun. Penurunan nilai penjualan produk tekstil dalam negeri ini juga dibarengi dengan pangsa pasar yang mengkerut. Bila tahun 2009 pangsa pasarnya sebanyak 67%, maka tahun depan akan lebih mini, menjadi 55%; dan pada tahun 2014 hanya akan tersisa sebesar 39%. Sementara itu, Direktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Departemen Perindustrian Arryanto Sagala mengakui, pangsa pasar tekstil domestik akan tergerus oleh produk China yang murah, bila proses renegosiasi pos tarif pada skema AC-FTA tidak berhasil. Depperin mengusulkan, mengurangi pos tarif TPT yang awalnya masuk NT-I dari 87 menjadi 53 pos untuk digeser ke NT-II. "Ke 53 pos tarif di NT-I tersebut terdiri dari 44 HS kain dan 9 HS garmen," terang dia. Namun, Depperin mesti menyiapkan kompensasi pergeseran pos tarif tersebut. Kompensasinya, kata Arryanto, sekitar 53 pos tarif yang tadinya masuk NT-II dan HSL digeser menjadi NT-I. Adapun, Normal Track I (NT-I) merupakan kumpulan pos tarif yang berlaku 1 Januari 2010, NT-II mulai 2012, High Sensitive List (HSL) mulai 2020.