Bank-bank sentral waspadai aliran dana panas



JAKARTA. Banjir dana panas yang menyerbu pasar finansial negara-negara berkembang (emerging market) membuat otoritas moneter kewalahan.Mereka segera mengatur langkah agar aliran dana panas tidak mengerek inflasi dan membuat nilai tukar mereka terlalu kuat.

Berdasarkan data Bloomberg, aliran dana asing yang masuk ke negara-negara Asia di luar China per 11 Oktober lalu mencapai US$ 50,11 miliar. Angka ini naik 36,99% dari posisi sepekan sebelumnya, yaitu US$ 36,58 miliar. Menurut data lembaga independen Emerging Portofolio Fund Research (EPFR) Global, pada periode Januari - September lalu, dana asing yang masuk ke pasar saham emerging markets mencapai US$ 49,4 miliar dan di pasar obligasi sebesar US$ 39,5 miliar. Setidaknya ada dana sebesar US$ 2 miliar per hari yang mengalir ke pasar negara-negara berkembang. Ini merupakan rekor tertinggi sejak 1995.

Su Sian Lim, Ekonom Royal Bank of Scotland (RBS) untuk wilayah Asia Tenggara menilai, rezim suku bunga rendah di negara-negara maju membuat dana-dana murah mencari wadah investasi yang mampu memberikan imbal hasil lebih tinggi. "Negara-negara berkembang yang menjadi sasaran dana-dana panas ini," ujarnya di Jakarta, belum lama ini. Sayangnya, sebagian besar dari dana asing ini masuk ke instrumen investasi jangka pendek, seperti saham dan obligasi.


Tidak heran kalau sejumlah bank sentral was-was dengan keberadaan hotmoney ini. Tengok saja bank sentral China yang menaikkan giro wajib minimum (GWM) bagi enam bank komersial terbesar di China dari 17% menjadi 17,5%. Dana keenam bank besar yang akan ditahan selama dua bulan itu mencapai CNY 200 miliar atau sekitar US$ 30 miliar. Tahun 2010 ini, investasi asing langsung di China diperkirakan bakal menembus US$ 100 miliar, lebih tinggi dari posisi akhir 2009 yang sebesar US$ 90 miliar (data Bloomberg).

Pemerintah Thailand juga berencana mengenakan pajak sebesar 15% bagi investor asing yang menempatkan dananya di obligasi Thailand. Menteri Keuangan Thailand Korn Chatikavanij mengatakan, kebijakan tersebut bertujuan menahan penguatan baht terhadap dollar AS. Nilai tukar yang terlalu kuat bisa membuat ekspor Thailand melorot.

Editor: Test Test