JAKARTA. Pupus sudah harapan para bankir mendapatkan keringanan iuran ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Regulator di industri keuangan ini tetap akan memberlakukan pungutan ganda kepada industri perbankan dan lembaga keuangan yang juga tercatat sebagai emiten di pasar modal. Dus, bank harus membayar iuran, baik sebagai insititusi keuangan maupun sebagai perusahaan publik. "Kena dobel, karena mereka melakukan kegiatan ganda juga," kata Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK, Muliaman D. Hadad, Selasa (18/12). OJK menggelar sosialisasi pungutan ini sejak bulan lalu. Perbankan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) terkena pungutan OJK mulai pertengahan 2013. Sedangkan, perbankan non-bursa baru terkena pungutan di 2014, bersamaan dengan bergabungnya fungsi pengawasan perbankan di OJK.
OJK mematok pungutan berdasarkan aset. Perusahaan dengan aset lebih dari Rp 10 triliun wajib membayar Rp 50 juta-Rp 100 juta. Perusahaan beraset antara Rp 5 triliun hingga 10 triliun terkena biaya Rp 25 juta-Rp 50 juta. Sedangkan pemilik aset Rp 1 triliun sampai Rp 5 triliun, mesti membayar Rp 17,5 juta-Rp 35 juta. Yang asetnya kurang dari Rp 1 triliun menyetor Rp 7,5 juta -Rp 15 juta. Sementara pungutan institusi keuangan antara 0,03%-0,06% dari aset setelah audit. Institusi ini meliputi bank umum, bank perkreditan Rakyat, asuransi, reasuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lain, seperti Pegadaian, Penjaminan dan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan. Tapi, Muliaman memberi sedikit harapan, angka yang dikemukakan saat sosialisasi masih mungkin berubah. Angka finalnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP). "Ditargetkan selesai sebelum akhir tahun, tapi tampaknya baru awal tahun depan. Dan baru akan dilaksanakan (pungutan OJK) di pertengahan 2013," jelasnya. Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menolak usulan bankir agar pungutan OJK digabung atau diambil sebagian dari premi LPS. Alasannya, target premi LPS sendiri masih belum terpenuhi. "Di Undang-Undang LPS, target premi kan 2,5% dari dana pihak ketiga. Nah itu saja belum terpenuhi karena premi yang terkumpul saat ini baru Rp 32 triliun," kata Ketua Eksekutif LPS, Mirza Adityaswara. Menurut Mirza, prosentase 2,5% dari DPK saat ini setara Rp 75 triliun, mengingat DPK perbankan menembus Rp 3.000 triliun. Jika terjadi krisis, jumlah ini belum bisa menenangkan nasabah. Selain itu, aturan premi LPS sudah tertuang di UU LPS. Ini berbeda dengan pungutan OJK yang berlandas hukum PP. Catatan saja, Ketua Umum Asosiasi Bank Daerah (Asbanda), Eko Budiwiyono, sempat mengusulkan agar pungutan OJK dimasukkan ke premi LPS. Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono dan sejumlah ekonom juga menyampaikan hal serupa.
Menurut mereka, iuran OJK dan premi LPS memberatkan bank. "Akan merusak rencana BI yang menggadang-gadang efisiensi di industri keuangan," kata Ekonom Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono, beberapa waktu lalu. Ekonom Yanuar Rizki menilai, seharusnya objek pungutan OJK bukan cuma industri. Pemerintah dan BI juga layak dimintai iuran. OJK boleh menagih, karena BI diuntungkan dengan adanya stabilitas moneter. Industri menerapkan
good governance, sehingga tidak ada penyimpangan yang mengganggu moneter. "Untuk membayar pungutan, BI bisa menggunakan dana hasil pengelolaan devisa," katanya. Pemerintah membayar pungutan OJK sebagai bentuk terlindunginya pembayar pajak dari bandit sektor keuangan. Selama ini masyarakat membeli produk keuangan terkena pajak dengan harapan dana mereka aman. "Nah, OJK berfungsi mengamankan dana tersebut. Artinya, pemerintah mendapat benefit, maka layak membayar
fee," terangnya. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: