JAKARTA. Diam-diam para bankir berburu valuta asing (valas) ke luar negeri. Buktinya, Bank Indonesia (BI) menerima lebih banyak permohonan pencarian utang valas dari luar negeri.Hingga akhir November, BI menerima permohonan utang luar negeri US$ 2,744 miliar. Angka itu lebih tinggi US$ 610 juta dibandingkan nilai permohonan yang diterima BI per akhir Oktober 2008.Masih mengutip catatan BI, sampai akhir November, nilai utang yang sudah terealisasi sebesar US$ 1,476 miliar. Lagi-lagi posisi itu lebih tinggi 2% dari nilai utang valas per akhir Oktober yang sebesar US$ 1,447 miliar.
Rinciannya, bank yang menerima utang valas dari luar negeri adalah 11 bank swasta dan tiga bank berstatus BUMN. Sayangnya, bank sentral tak menyebut nama bank-bank haus valas itu. Di saat pasar internasional juga sedang mengalami kesulitan likuiditas, bank-bank lokal yang mampu mencari utangan dari luar negeri bisa dibilang beruntung. Apalagi, konon kabarnya, biaya bunga kredit valas dari luar negeri lebih rendah dibandingkan bunga kredit valas di bank dalam negeri. Namun, tentu saja, bank yang memiliki utang valas harus siap-siap menanggung risiko nilai tukar. Saat ini, nilai tukar rupiah masih terus tertekan. Pada perdagangan kemarin, kurs rupiah sebesar Rp 12.500 per dolar AS, merosot jauh dari Rp 9.200 per dolar AS, dua bulan silam. Kelebihan likuiditas Meski catatan BI memperlihatkan permohonan utang valas ke luar negeri meningkat, banyak bank mengaku kelebihan dana pihak ketiga dalam bentuk valas. PT Bank Mandiri Tbk., misalnya, mengklaim pada akhir Oktober 2008 memiliki total dana pihak ketiga (DPK) sebesar US$ 4 miliar atau naik sekitar US$ 500 juta per bulan. "Posisi valas Bank Mandiri dalam kondisi sangat baik. Kebanyakan dana nasabah itu tersimpan dalam bentuk deposito berjangka bulanan," kata Chief Fincancial Officer Bank Mandiri Pahala Mansyuri dalam acara paparan publik, pekan lalu. Kepala Riset Sarijaya Sekuritas Danny Eugene menilai wajar-wajar saja jika semakin banyak bank yang mencari utang valas ke luar negeri. Danny mengingatkan, sekarang beberapa bank sulit mencari likuiditas, baik rupiah maupun valas dari pasar uang antar bank. "Karena terjadi saling ketidakpercayaan antar sesama bank sendiri," tuturnya. Pasar lokal yang lesu merupakan salah satu pemicu bankir berpaling ke luar negeri.
Dalam hitungan Danny, bank akan lebih beruntung jika mendapat utangan dari luar negeri. "Bunga kredit valas di luar sudah rendah," ujarnya. Ia mengilustrasikan, bunga patokan dolar AS, yaitu Fed Fund saat ini hanya 1%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan bunga acuan untuk rupiah, yaitu BI rate yang saat ini sebesar 9,5%. Memang rupiah sedang rawan. Tapi, biarpun rupiah melemah, Danny yakin biaya kredit valas dari luar negeri tetap lebih murah daripada meminjam dari pasar keuangan lokal. Jika dihitung secara kasar, depresiasi rupiah terkini berkisar 20%. Dalam kalkulasi Danny, depresiasi itu bisa tertutup oleh selisih antara bunga The Fed dengan BI rate yang lebih dari 8%. Bank peminjam dari luar negeri bisa makin untung karena tren depresiasi rupiah tak akan berlangsung lama. "Jadi, sepertinya, masih aman bagi bank untuk meminjam dari luar negeri," simpul Danny. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie