JAKARTA. Perbankan memiliki banyak cara untuk menjaga pertumbuhan laba di kala penyaluran kredit tidak optimal. Salah satunya, mengandalkan pendapatan tresuri melalui penempatan dana pada surat berharga yang dibeli dengan janji akan dijual kembali (reverse repo). Bank Rakyat Indoesia (BRI), misalnya. Bank spesialis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ini meningkatkan kepemilikan pada surat berharga melalui reverse repo dari Rp 501,38 miliar pada 2010 menjadi Rp 9,38 triliun. Kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) BRI melalui mekanisme ini meningkat 1.772,26%. Bank BNI juga meningkatkan kepemilikan SBN melalui mekanisme tersebut. Pada 2011, BNI mengoleksi SBN dengan mekanisme reverse repo mencapai Rp 2,29 triliun. Tahun 2010 belum ada.
Bank Central Asia (BCA) menjadi bank paling aktif mengumpulkan SBN dengan mekanisme ini. Nilai kepemilikan mencapai Rp 21,2 triliun. Surat berharga yang dibeli bank dengan mekanisme reverse repo merupakan surat berharga milik Bank Indonesia (BI). Bagi perbankan kebijakan ini mendatangkan dua keuntungan. Pertama, bank menempatkan kelebihan dana dalam jangka pendek. Kedua, bank mendapatkan bunga, meski imbal hasilnya sangat minim, lebih rendah dari yield Sertifikat BI (SBI). Menggantikan SBI Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja mengatakan, tingginya penempatan dana tersebut mencerminkan, bank mengalami kelebihan likuiditas dan membutuhkan instrumen besar untuk menyerap kelebihannya. Sekretaris Perusahaan BRI, Muhammad Ali menambahkan reverse repo merupakan salah satu instrumen investasi BRI. SUN milik BRI melalui mekanisme reverse repo bertenor 1-6 bulan. "Bunga yang kami terima sama dengan bunga pasar uang, sekitar 3%-an," ujarnya. Jika menggunakan asumsi bunga tersebut, dengan menempatkan di reverse repo, BRI sudah mendapatkan imbal hasil sebesar Rp 281,49 miliar. Adapun BNI dan BCA mengempit untung masing-masing Rp 68,68 miliar dan Rp 636,04 miliar.