KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun lalu jadi tolak balik industri perbankan lantaran dalam beberapa tahun sebelumnya pertumbuhannya stagnan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang 2018 laba industri perbankan mencapai Rp 150,01 triliun. Tumbuh 14,37% (yoy) dibandingkan 2017 dengan capaian laba senilai Rp 131,15 triliun. Sayangnya, cuan besar cuma dinikmati bank besar yang masuk kelas Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 4. bank kecil di kelas BUKU 1, dan BUKU 2 justru banyak yang mencatat kerugian. Bahkan di kelas BUKU 3 pun beberapa anggotanya mengalami penurunan laba. Di kelas BUKU 1 misalnya ada PT Bank Yudha Bhakti Tbk (
BBYB) yang sepanjang 2018 lalu mencatat rugi bersih mencapai Rp 136,98 miliar. Padahal pada 2017 bank yang baru diakuisisi akulaku ini masih meraih laba bersih senilai Rp 14,42 miliar.
Dalam keterangan resminya ke Bursa Efek Indonesia, perseroan menyatakan kerugian yang dicatatkan perseroan disebabkan akibat koreksi atas kekurangan cadangan kerugian penambahan nilai (CKPN). Misalnya koreksi audit atas kekurangan pembentukan CKPN individual dari debitur Altamoda Group sebesar Rp 141,66 miliar, pembentukan CKPN kolektif senilai Rp 26,35 miliar, dan pembentukan CKPN tagihan asuransi senilai Rp 6,88 miliar. ”Tahun lalu, kami mencadangkan CKPN sangat besar sebagai akibat peningkatan NPL (non performing loan),” kata Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Denny Mahmuradi kepada Kontan.co.id, Selasa (9/4). Meski demikian, dilihat dari laporan keuangan, sejatinya kinerja perseroan tahun lalu memang tak memuaskan. Pendapatan bunga bersih perseroan misalnya turun minus 5,85% (yoy) menjadi Rp 269,10 miliar pada akhir 2018. Di lain sisi, beban operasional non bunga perseroan juga meningkat 52,93% (yoy) menjadi Rp 407,62 miliar. Kinerja ini juga disebabkan dari fungsi intermediasi perseroan yang tak cemerlang. Sepanjang 2018 lalu menyalurkan kredit senilai Rp 3,94 triliun. Tumbuh tak sampai 1% dari realisasi pada 2017 senilai Rp 3,91 triliun. Realisasi kredit ini juga makin diperparah dengan membengkakny NPL. Pada 2018 NPL gross mencapai minus 15,75%, dan NPL nett mencapai 9,92%. Padahal pada 2017 NPL gross perseroan mencapai 4,98%, dan NPL net di level 2,07%. Rasio keuangan perseroan lainnya juga ikutan anjlok.
return of asset (RoA) berada di level -2,83%, return of equity (RoE) di level -22,73%. “Tahun ini dengan adanya penguatan permodalan dari strategic investor, serta penguatan digitalisasi dan transformasi bisnis kami optimistis kinerja akan membaik,” sambung Denny. BUKU 1 lainnya yang gagal cuan tahun lalu adalah PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (
BEKS). Sepanjang 2018 perseroan mencetak rugi bersih senilai Rp 100,13 miliar. Lebih besar 31,26% (yoy) dibandingkan rugi pada 2017 senilai Rp 76,25 miliar. Sementara secara umum, dari catatan Otoritas, kelas BUKU 1 pada 2018 lalu cuma meraih laba sebesar Rp 700 miliar. Tumbuh negatif minus 2,28% (yoy) dibandingkan laba 2017 senilai Rp 716 miliar. Sedangkan di kelas BUKU 2, laba anjlok lebih dalam. Sepanjang 2018 BUKU 32 meraih laba Rp 9,18 triliun. Dengan pertumbuhan -10,72% (yoy) dibandingkan 2017 senilai Rp 10,28 triliun. PT Bank J Trust Indonesia Tbk (
BCIC) jadi contoh BUKU 2 yang gagal cuan tahun lalu. Eks Bank Century ini tahun lalu mencatatkan rugi bersih Rp 401,10 miliar. padahal pada 2017 perseroan masih dapat laba bersih senilai Rp 112,98 miliar. Sayangnya, petinggi J Trust enggan memberikan komentar terkait anjloknya kinerja perseroan. “Nanti akan ada jawaban dari
Corporate Secretary kami,” kata Direktur Bank J Trust Helmi Hidayat saat dikonfirmasi Kontan.co.id, Selasa (9/4). Sementara
Corporate Secretary Rudyanto Gunawan hingga berita turun belum merespon pertanyaan yang Kontan.co.id berikan. Anjloknya laba perseroan disebabkan dari menurunnya pendapatan bunga bersih. Sepanjang 2018, Bank J Trust cuma berhasil meraih pendapatan bunga bersih Rp 391,54 miliar. Anjlok -19,03% (yoy) dibandingkan 2017 senilai Rp 483,60 miliar. Di sisi lain beban operasional non bunga perseroan justru membengkak menjadi Rp 696,71 miliar. Melonjak 87,98% (yoy) dibandingkan 2017 senilai Rp 370,61 miliar. Realisasi kredit perseroan juga tak tumbuh pesat, hanya 5,35% (yoy) senilai Rp 649,13 miliar. Kinerja kredit ini juga diperparah dengan melonjaknya NPL gross menjadi 4,59% pada 2018, sementara pada 2017 rasionya berada di level 4,32%. Sementara NPL nett justru membengkak parah menjadi 4,26%. Padahal, pada 2017 rasionya masih mencapai 2,94%. Kegiatan penghimpunan DPK perseroan juga naik cuma 2,66% (yoy) menjadi Rp 13,24 triliun akhir 2018 lalu. Sementara beberapa rasio keuangan perseroan juga ikut menurun. RoA yang menjadi -2,25% dari 0,73%. RoE menjadi -29,13% dari 8,09%, dan NIM menjadi 2,28% dari sebelumnya 2,41%. Laba Menurun Jika di kelas BUKU 1, dan BUKU 2 beberapa bank mencatat kerugian, di kelas BUKU 3 sebenarnya masih mencatat laba, namun pada 2018 lalu cuan beberapa BUKU 3 menurun. PT Bank Tabungan Negara (persero) Tbk (
BBTN), anggota indeks
Kompas100, dan PT Bank Mayapada Tbk (
MAYA) misalnya. tahun lalu laba BTN menciut menjadi Rp 2,80 triliun, atau merosot 7,25% (yoy) dibandingkan laba 2017 senilai Rp3,02 triliun. Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan, turunnya laba BTN disebabkan dari penambahan cadangan kerugian nilai (CKPN) guna memenuhi ketentuan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) 71. “Penyebab utama penurunan laba berasal dari pembentukan CKPN kami yang naik hingga 93,8% (yoy),” kata Iman kepada Kontan.co.id belum lama ini. Tahun lalu, BTN mengalokasikan tambahan CKPN hingga Rp 1,7 triliun. Nah, tambahan alokasi CKPN sudah dilakukan BTN sejak 2014 sebesar Rp 776,9 miliar, 2015 sebesar Rp 901,3 miliar, 2016 senilai Rp 707,6 miliar, dan 2017 sebesar Rp 884,4 miliar.
Iman menambahkan, penurunan laba juga lantaran tergerusnya marjin bunga bersih BTN sebesar 44 basis poin (bps). Pada 2018, BTN meraih marjin sebesar 4,32%, lebih rendah dibandingkan 2017 sebesar 4,76%. Hal serupa juga turut terjadi di Mayapada. Tahun lalu perseroan cuma meriah laba bersih senilai Rp 437,41 miliar. Turun hingga -35,23% (yoy) dibandingkan laba 2017 senilai Rp 675,40 miliar. Direktur Utama Hariyono Tjahrijadi bilang merosotnya laba perseroan turut disebabkan juga akibat pemenuhan CKPN guna menyesuaikan PSAK 71. “Akhir 2018 kami menambah CKPN sebesar Rp 500 miliar, karena mulai tahun depan sudah akan implementasi PSAK 71, dan tahun ini pun akan kami akan tambah CKPN lagi,” Kata Direktur Utama Mayapada Hariyono Tjahriyadi kepada Kontan.co.id. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli