Bank BNI: 60% Debitur High Risk Bakal Dapat Restrukturisasi Kredit Lanjutan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk menyambut baik perpanjangan restrukturisasi pada sektor dan industri tertentu dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Direktur Manajemen Risiko BNI David Pirzada mengakuii sektor-sektor tersebut memang masih membutuhkan perpanjangan restrukturisasi. 

“Sampai dengan saat ini, kredit yang direstrukturisasi di BNI terus menurun. Kami sudah memetakan masih ada sekitar 5% debitur restrukturisasi covid yang dikategorikan sebagai high risk,” ujar David kepada Kontan.co.id pada Senin (28/11).

Ia menyatakan sekitar 60% debitur high risk tersebut berada pada sektor-sektor yang diperpanjang stimulusnya oleh regulator. Adapun perpanjangan restrukturisasi ini diberikan kepada segmen UMKM diseluruh sektor. 


Juga sektor penyedia akomodasi dan makanan minuman. Begitupun beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki. 

Baca Juga: Perpanjangan Restrukturisasi Kredit Sektor UMKM, Perhotelan dan Tekstil, Ini Kata OJK

“Untuk pencadangan, kami sudah melakukan build up pencadangan yang cukup sesuai dengan profil risiko dari debitur kami. Untuk debitur restrukturisasi Covid-19 yang masuk kategori high risk sudah kami provisioning dengan rata-rata CKPN rasio 30%,” jelas David.

Ia memprediksi akhir tahun 2022 hingga 2023,  BNI akan tetap menjaga NPL Coverage Ratio di atas 270%. Seiring dengan itu, bank bersandi saham BBNI ini juga akan mempertahankan LAR Coverage Ratio di atas 40%.

Asal tahu saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya memutuskan untuk memperpanjang program restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang akan berakhir pada Maret 2023. Namun, perpanjangan relaksasi dari regulator ini hanya bersifat segmented dan sektoral. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan alasan regulator mengeluarkan kebijakan ini setelah melakukan pendalaman terhadap perkembangan proses restrukturisasi itu kita lakukan melihat kondisi kredit yang direstrukturisasi selama dua tahun ini. Dari sana, terlihat bahawa ada sektor dan industri tertentu yang masih mengalami scaring effect

“Pada saat sektor lain sudah pulih ditunjukkan dari nilai restrukturisasi yang sudah jauh berkurang. Begitupun yang pulih sudah menunjukkan pertumbuhan yang jelas. Namun ada beberapa sektor dan industri tertentu masih butuhkan proses dan waktu tambahan,” ujar Mahendra di Kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (28/11). 

Ia menyatakan ada dua aspek yang OJK lihat dari sektor dan industri ini. Pertama, secara dari jumlah kredit yang direstrukturisasi masih tinggi. Kedua, dari segi tingkat pemulihan pertumbuhannya, sektor dan industri tersebut tidak secepat yang lainnya. 

Adapun Direktur Humas OJK Darmansyah menyatakan OJK mengambil kebijakan mendukung segmen, sektor, industri dan daerah tertentu (targeted) yang memerlukan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan tambahan selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024. Meliputi, pertama segmen UMKM yang mencakup seluruh sektor. Kedua, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum.

"Ketiga beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki. Kebijakan ini dilakukan secara terintegrasi dan berlaku bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan," ujarnya dalam keterangan resmi pada Senin (28/11). 

Lanjutnya, kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang ada dan bersifat menyeluruh dalam rangka pandemi Covid-19 masih berlaku sampai Maret 2023. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan pelaku usaha yang masih membutuhkan kebijakan tersebut, dapat menggunakan kebijakan dimaksud sampai dengan Maret 2023 dan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kredit/pembiayaan antara LJK dengan debitur. 

Baca Juga: Nilai Transaksi Bulanan Uang Elektronik Tembus Rp 35,1 Triliun

Ia menuturkan OJK akan terus mencermati perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap perekonomian nasional, termasuk fungsi intermediasi dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kaitan itu, OJK tetap meminta agar LJK mempersiapkan buffer yang memadai untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin timbul. OJK juga akan merespon secara proporsional perkembangan lebih lanjut dengan tetap mengedepankan stabilitas sistem keuangan serta menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. 

Adapun landasan kebijakan ini lantaran OJKmenilai saat ini ketidakpastian ekonomi global tetap tinggi, utamanya disebabkan normalisasi kebijakan ekonomi global oleh Bank Sentral AS (The Fed), ketidakpastian kondisi geopolitik, serta laju inflasi yang tinggi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ke depan tidak terhindarkan sebagaimana diprakirakan oleh berbagai lembaga internasional.

"Di sisi lain, pemulihan perekonomian nasional terus berlanjut seiring dengan lebih terkendalinya pandemi dan normalisasi kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagian besar sektor dan industri Indonesia telah kembali tumbuh kuat. Sekalipun demikian, berdasarkan analisis  mendalam dijumpai beberapa pengecualian akibat dampak berkepanjangan pandemi Covid-19 (scarring effect)," pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi