Bank BUMN akan ditunjuk jadi bank perantara, channeling pinjaman likuiditas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Restrukturisasi kredit yang dilakukan terhadap debitur yang terdampak pandemi Covid-19 akan berdampak pada pengetatan likuiditas perbankan. Pasalnya, penundaan angsuran pokok dan bunga kredit menurunkan pendapatan bank.

Ditambah lagi dengan mulai adanya penarikan dana dari tabungan yang dilakukan masyarakat menengah ke bawah untuk memenuhi kebutuhan di tengah karena penundaan gaji atau pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini menambah risiko likuiditas perbankan.

Baca Juga: Restrukturisasi kredit UMKM, bank butuh bantuan likuiditas Rp 83,9 triliun


Untuk bank-bank besar yang punya banyak dana di surat berharga dan punya klaster likuiditas yang kuat, persoalan likuiditas memang tidak jadi masalah. Mereka bisa melakukan transaksi Repurchase Agreement (Repo) dengan Bank Indonesia (BI) untuk cari tambahan likuiditas.

Namun, tidak semua bank kuat. Bank yang tidak punya SUN untuk melakukan mekanisme penambahan likuiditas ke BI dan BPR yang saat ini memiliki kredit sekitar Rp 20 triliun memiliki resiko besar dari sisi likuiditas.

Bank yang punya SUN juga tidak bisa menggadaikan surat berharganya sampai habis. Mereka juga perlu buffer untuk menjaga jika suatu saat nasabah melakukan penarikan dana mendadak.

Bank-bank demikian, hanya bisa mencari bantuan likuiditas dari bank. Untuk mengatasi itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, dan Kementerian Keuangan telah sepakat untuk membentuk Bank Perantara atau sebelumnya dikenal dengan nama Bank Jangkar.

Editor: Yudho Winarto