Bank BUMN bisa hapus tagih piutang macet Rp 45,5 T



JAKARTA. Niat bank-bank pelat merah untuk melakukan hapus tagih (haircut) piutang macet semakin bulat. Mereka mendesak pemerintah agar segera mengajukan amandemen Undang-Undang No 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

Berbeda dengan bank swasta, bank BUMN tak bisa menghapus tagih kredit macet begitu saja lantaran kredit tersebut masuk piutang negara. Alhasil, kredit macet tersebut berpotensi menambah rasio kredit bermasalah alias Non Performing Loan (NPL) di bank-bank BUMN.

Jika amandemen UU ini dikabulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bank-bank BUMN bisa membersihkan kredit macet senilai Rp 45,5 triliun dari neracanya. Rinciannya: PT Bank BNI Tbk sekitar Rp 20 triliun, PT Bank Mandiri Tbk sekitar Rp 19 triliun, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) di bawah Rp 5 triliun, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) sekitar Rp 1,5 triliun.


Gatot M. Suwondo, Direktur Utama Bank BNI, mengatakan, rencana untuk mengamandemen UU tersebut sudah dimulai empat tahun yang lalu. "Saya selalu mengumandangkan agar bank BUMN dapat bermain di level of playing field yang sama dengan bank swasta lainnya," tegas Gatot, Selasa (31/8).

Direktur Utama BRI Sofyan Basir berpendapat, amandemen UU 49 Tahun 1960 ini sebenarnya sederhana. "Tidak perlu adendum banyak. Tinggal menambahkan kalimat 'kecuali untuk sistem perbankan' saja," ujarnya.

Wakil Direktur Utama BTN Evi Firmansyah bilang, dengan kemampuan hapus tagih ini, bank-bank BUMN bisa segera membersihkan neraca mereka. "Biasanya, kredit yang macet dan tidak bisa dihapus di BTN muncul karena bencana alam," jelas Evi.

Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini menyebutkan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo sudah memberi lampu hijau atas rencana tersebut. "Kami akan terus memperjuangkan amandemen UU itu agar kami memiliki level of playing field yang sama bank-bank swasta, terutama bank asing," lanjut Zulkifli. Meski begitu, Mandiri tidak takut berkompetisi. "Dengan bersaing, kita jadi lebih kreatif dan tangguh," ujarnya.

Selain amandemen UU, hal lain yang menghambat kinerja perbankan saat ini adalah azas resiprokal. Hingga kini , bank di Indonesia masih kesulitan membuka kantor cabang di luar negeri. Sebaliknya, bank-bank asing dengan mudah masuk ke Indonesia. "Kita terlalu mudah membuka pintu," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test