JAKARTA. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) rupanya kesulitan membiayai mendanai proyek gas Donggi Senoro. Karena itu, mereka membuka lowongan kepada bank-bank swasta dan bank internasional lainnya untuk mendanai proyek Donggi-Senoro. Deputi Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi, Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sahala Lumban Gaol menyatakna, sebenarnya bank-bank BUMN berminat mendanai proyek Donggi-Senoro, namun karena proyeknya cukup besar, bank-bank BUMN itu ingin menggandeng pihak lain. Selain itu, saat ini sedang dilakukan juga pembahasan tentang kondisi atau persyaratan yang diminta oleh bank-bank tersebut jika nantinya mereka mau membiayai dana tersebut. Sahala tidak mengatakan secara jelas, kondisi seperti apa yang diminta oleh Bank-bank tersebut. "Mungkin merekahanya meminta supaya industri memenuhi syarat perbankan. Jadi lebih kepada faktor komersial dan keekonomian supaya maksimal," lanjut Sahala.Konsorsium Donggi Senoro LNG terdiri atas Mitsubishi Corp dengan kepemilikan 51 persen, PT Pertamina 29 persen, dan Medco Energi 20 persen. Proyek LNG Donggi Senoro di Luwuk, Sulawesi Tengah, itu dikembangkan dengan pola upstream. Pertamina dan Medco, masing-masing sebagai operator blok migas Matindok dan Senoro, memasok gas ke kilang yang dibangun bersama dengan Mitsubishi.Rencananya gas akan mulai dijual pada tahun 2013 dan akan berproduksi selama 15 tahun. Saat ini proses eksploitasi ladang Senoro sudah dimulai. Diperkirakan investasi yang dikeluarkan untuk fasilitas hulu di ladang Senoro sebesar US$ 800 juta dan fasilitas hulu Matindok sebesar US$ 790 juta. Sedangkan fasilitas kilang yang akan dibangun oleh PT Donggi Senoro LNG sebesar US$ 2,1 miliar sehingga total investasi yang harus dikeluarkan sebesar US$ 3,7 miliar.Untuk mengembangkan lapangan gas itu, biaya yang diperlukan sekitar US$ 3,7 miliar, dengan perincian US$ 1,7 miliar untuk pengembangan upstream dan US$ 2 miliar untuk downstream. Dengan estimasi nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 10.000, maka biaya yang diperlukan sekitar Rp 37 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bank BUMN Mengajak Bank Swasta Ikut Mendanai Proyek Donggi Senoro
JAKARTA. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) rupanya kesulitan membiayai mendanai proyek gas Donggi Senoro. Karena itu, mereka membuka lowongan kepada bank-bank swasta dan bank internasional lainnya untuk mendanai proyek Donggi-Senoro. Deputi Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi, Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sahala Lumban Gaol menyatakna, sebenarnya bank-bank BUMN berminat mendanai proyek Donggi-Senoro, namun karena proyeknya cukup besar, bank-bank BUMN itu ingin menggandeng pihak lain. Selain itu, saat ini sedang dilakukan juga pembahasan tentang kondisi atau persyaratan yang diminta oleh bank-bank tersebut jika nantinya mereka mau membiayai dana tersebut. Sahala tidak mengatakan secara jelas, kondisi seperti apa yang diminta oleh Bank-bank tersebut. "Mungkin merekahanya meminta supaya industri memenuhi syarat perbankan. Jadi lebih kepada faktor komersial dan keekonomian supaya maksimal," lanjut Sahala.Konsorsium Donggi Senoro LNG terdiri atas Mitsubishi Corp dengan kepemilikan 51 persen, PT Pertamina 29 persen, dan Medco Energi 20 persen. Proyek LNG Donggi Senoro di Luwuk, Sulawesi Tengah, itu dikembangkan dengan pola upstream. Pertamina dan Medco, masing-masing sebagai operator blok migas Matindok dan Senoro, memasok gas ke kilang yang dibangun bersama dengan Mitsubishi.Rencananya gas akan mulai dijual pada tahun 2013 dan akan berproduksi selama 15 tahun. Saat ini proses eksploitasi ladang Senoro sudah dimulai. Diperkirakan investasi yang dikeluarkan untuk fasilitas hulu di ladang Senoro sebesar US$ 800 juta dan fasilitas hulu Matindok sebesar US$ 790 juta. Sedangkan fasilitas kilang yang akan dibangun oleh PT Donggi Senoro LNG sebesar US$ 2,1 miliar sehingga total investasi yang harus dikeluarkan sebesar US$ 3,7 miliar.Untuk mengembangkan lapangan gas itu, biaya yang diperlukan sekitar US$ 3,7 miliar, dengan perincian US$ 1,7 miliar untuk pengembangan upstream dan US$ 2 miliar untuk downstream. Dengan estimasi nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 10.000, maka biaya yang diperlukan sekitar Rp 37 triliun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News