KONTAN.CO.ID - BEIJING. Investor di saham bank China mendapatkan pengingat yang menyakitkan tentang siapa yang kemungkinan besar akan menanggung beban dari upaya pemerintah untuk menopang sektor real estat yang sedang dilanda krisis. Melansir
Bloomberg, Selasa (11/7), Indeks saham Bloomberg Intelligence mencatatkan pemberi pinjaman China telah anjlok 14% dari level tertinggi tahun ini pada Mei 2023 hingga penutupan pada Senin (10/7), menghapus kapitalisasi pasar sebesar US$ 77 miliar dan membuat saham-saham industri tersebut berada di titik terbawah dari valuasi terendah yang pernah ada. Adapun indeks telah berubah datar setelah mencatat kenaikan ringan pada Selasa (11/7). Kekhawatiran tentang kondisi perbankan makin meningkat setelah pihak berwenang meminta pemberi pinjaman untuk memberikan keringanan pinjaman kepada para pengembang seiring dengan berlanjutnya krisis perumahan.
Baca Juga: Deflasi Mengancam, Pemerintah China Diharapkan Rilis Sejumlah Stimulus Beberapa bank di Wall Street juga telah berubah menjadi lebih berhati-hati, dengan Goldman Sachs Group Inc. mengambil pandangan bearish pada sektor tersebut. Indeks Bloomberg Intelligence untuk saham-saham bank China diperdagangkan pada 0,27 kali nilai buku, hanya sedikit lagi dari rekor terendah di akhir Oktober 2022. Analis Citigroup Inc. menyebut perpanjangan langkah-langkah bantuan untuk para pengembang kemungkinan akan memberikan lebih banyak dorongan sentimen kepada para investor tanpa secara fundamental meredakan kekhawatiran akan risiko kredit bank-bank komersial terhadap para pengembang yang bermasalah. Adapun regulator mengatakan bahwa mereka telah meminta bank untuk melonggarkan persyaratan bagi perusahaan real estat dengan mendorong negosiasi untuk memperpanjang pinjaman yang belum dilunasi. Langkah itu bertujuan untuk memastikan pengiriman rumah yang masih dalam tahap konstruksi. Beberapa pinjaman yang belum dilunasi, termasuk pinjaman perwalian yang jatuh tempo pada akhir 2024, akan diberikan perpanjangan pembayaran selama satu tahun. Menurut perkiraan analis China International Capital Corp, eksposur risiko pemberi pinjaman China terhadap properti mencapai sekitar 20 triliun yuan atau US$ 2,8 triliun pada akhir tahun lalu, termasuk pinjaman dan obligasi, yang mencakup sekitar 5% dari total aset mereka. Sementara itu, mereka menyebut rasio kredit macet real estat adalah sekitar 4% pada saat itu. Sektor itu juga mencatatkan tumpukan utang sebesar US$ 9 triliun di antara pembiayaan pemerintah daerah Tiongkok disebabkan pemulihan ekonomi tengah goyah. Kekhawatiran akan kesehatan neraca keuangan mereka meningkat setelah Bloomberg News melaporkan bahwa para pemberi pinjaman utama menawarkan pinjaman LGFV dengan jangka waktu yang sangat panjang dan keringanan bunga sementara untuk mencegah krisis kredit.
Baca Juga: Pertemuan Menlu ASEAN Dibayangi Krisis Myanmar & Ketegangan Laut China Selatan Goldman Sachs memperkirakan bahwa 34 triliun yuan utang pemerintah daerah berada di neraca keuangan bank-bank yang dinaunginya. Aset gabungan para pemberi pinjaman tersebut mencapai 61% dari total sistem perbankan. Margin bunga bersih bank-bank komersial China merosot ke rekor terendah 1,74% di bulan Maret 2023, menurut data dari Komisi Regulasi Keuangan Nasional.
Angka itu berada di bawah ambang batas 1,8% yang diperkirakan oleh para analis dan praktisi industri untuk mempertahankan profitabilitas yang wajar. Pemberi pinjaman telah melihat margin mereka tertekan karena didorong oleh pihak berwenang guna memberikan pinjaman murah untuk usaha kecil dan pembeli rumah demi membantu menopang perekonomian. Permintaan pinjaman dari bisnis dan rumah tangga telah melemah karena faktor properti mengempis dan perusahaan-perusahaan mengurangi investasi. "Sulit bagi pengembang untuk meningkatkan likuiditas mereka, bank-bank masih harus menanggung kemungkinan besar bahwa sebagian besar pinjaman mereka dapat berubah menjadi kredit macet," ujar Shen Meng, seorang direktur di bank investasi yang berbasis di Beijing, Chanson & Co. Shen menyampaikan kebijakan terbaru itu hanya dapat membantu bank-bank untuk menunda eksposur risiko mereka.
Editor: Herlina Kartika Dewi