KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekosistem yang kuat kerap digadang-gadang sebagai kunci bank digital mencatatkan kinerja ciamik. Berkat dukungan ekosistem, bank digital dapat tumbuh secara eksponensial dengan cara efektif. Namun demikian, bank digital berbasis ekosistem juga memiliki risiko yang tidak bisa dianggap enteng. Potensi risiko itu semakin besar apabila bank digital hanya mengandalkan satu ekosistem untuk menunjang kegiatan usahanya. Risiko yang terkonsentrasi di satu titik bisa menjadi bumerang dan karena itu regulator kerap mengingatkan untuk diversifikasi.
Mengutip POJK Nomor 18/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, salah satu risiko kredit adalah risiko konsentrasi kredit. Hal itu merupakan risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada satu pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan atau geografis tertentu yang dapat mengancam kelangsungan usaha bank.
Baca Juga: Tahun Ini, AgenBRILink Ditargetkan Bisa Catatkan 1,4 Miliar Transaksi Di Indonesia sendiri, setidaknya sudah ada sekitar 11 bank digital yang meluncur, menghadirkan model bisnis dengan minim kantor cabang dan sarat dengan penggunaan teknologi. Bank-bank tersebut hadir dengan menawarkan ekosistemnya masing-masing, antara lain AlloBank dengan ekosistem TransCorp, Jago dengan ekosistem GOTO, Superbank dengan Grab dan afiliasinya serta Seabank dengan ekosistem Shopee. Ada juga Bank Neo Commerce dengan ekosistem Akulaku dan Krom Bank dengan Kredivo. Sementara pendatang baru seperti HiBank, mengkolaborasikan kekuatan segmen ritel induknya (Bank BNI) dengan ekosistem Mayora Group, pengendali sebelumnya. Selain itu, terdapat Saqu Bank (Bank Jasa Jakarta) yang bersandar pada dukungan penuh konglomerasi Astra. Sebagian dari 11 bank tersebut memanfaatkan ekosistem yang bervariasi. AlloBank misalnya, turut memanfaatkan ekosistem Emtek di samping ekosistem bisnis TransCorp. Kemudian ada Jago yang tidak hanya mengandalkan ekosistem GOTO, juga melibatkan BFI Finance dan Bibit serta Stockbit. Jago bahkan menggandeng lebih dari 15 partner untuk menopang bisnisnya. Dengan dukungan ekosistem yang beragam, AlloBank dan Jago mampu mencetak pertumbuhan laba dengan kualitas pinjaman yang sangat baik sepanjang 2023. AlloBank mencetak laba Rp 444,56 miliar, tumbuh 65% sedangkan Jago meraup laba Rp 72 miliar, meroket 355%. NPL
gross AlloBank dan Jago masing-masing 0,08% dan 0,8%, lebih rendah dibandingkan NPL industri perbankan yang mencapai 2,19%. Sementara itu, Bank digital yang hanya mengandalkan satu ekosistem terpantau menghadapi periode suram pada kinerja 2023. Misalnya Bank Neo Commerce (BNC) yang membukukan rugi bersih Rp 573,1 miliar pada 2023. Persoalan yang membelit Akulaku Finance, mesin penggerak utama BNC, menjadi salah satu faktor pemberat.
Baca Juga: Ada Raksasa Keuangan Korea Selatan, di Balik Transformasi KB Bank Contoh menarik lainnya adalah kinerja Seabank yang hanya mengandalkan ekosistem Shopee. Seabank terafiliasi dengan
e-commerce Shopee dan SPaylater (PT Commerce Finance). Kemudian Sea Limited, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, juga didukung SPinjam (PT Lentera Dana Nusantara) dan ShopeePay (PT Airpay International Indonesia). Seabank menyalurkan pinjaman baik ke pembeli maupun ke penjual di dalam platform
e-commerce melalui SPaylater dan SPinjam. SPaylater memiliki izin
multifinance sedangkan SPinjam mengantongi izin sebagai
P2P lending. Kerja sama Seabank dengan SPaylater dengan SPinjam tersebut diungkapkan di Laporan Tahunan 2022. Pada 2023, Bank milik Shopee ini membukukan laba Rp 241,47 miliar anjlok 10% dari kinerja tahun sebelumnya. Penurunan kinerja Seabank menarik perhatian karena pada periode tersebut perseroan mencatatkan pertumbuhan kredit 12,55% menjadi Rp 17,88 triliun. Efek dari kenaikan kredit ini, Seabank meraih pendapatan bunga bersih (
net interest income/NII) Rp 5,78 triliun alias melonjak 53%.
Editor: Tendi Mahadi