JAKARTA. Transparansi laporan keuangan perbankan menjadi isu penting pasca meledaknya krisis keuangan tahun 2008 silam. Pemaparan informasi terkait kondisi neraca keuangan perbankan yang akurat dan obyektif akan menjadi modal paling penting ketika para pelaku industri bank pun pemangku kebijakan harus mengeluarkan kebijakan krusial merespon ancaman krisis. Ini menjadi salah satu pelajaran berharga dari krisis 2008 yang kemudian digelindingkan menjadi isu.Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya menuturkan hal ini dalam hajatan perbankan tahunan Apconex di Jakarta, Kamis (29/4). Budi menceritakan, pengalaman dari periode krisis silam di antaranya menunjukkan begitu cepatnya risiko counterparty terkerek naik dan kepanikan menyebar cepat. “Ini terjadi karena saat itu tidak ada kepercayaan pada kesehatan dari masing-masing lawan transaksi,” ungkapnya.Isu ini mengemuka menyusul adanya temuan penyelidikan tentang kejatuhan raksasa finansial Lehman Brothers saat krisis menghantam tahun 2008 silam. Dalam hasil investigasi yang dipublikasikan oleh Anton R. Valukas 11 Maret 2010, menggarisbawahi adanya aspek akuntansi atas transaksi repo yang kurang wajar. Itu yang kemudian dikenal sebagai ‘repo 105’ Lehman Brothers. “Hasil penyelidikan tersebut kembali mengingatkan pentingnya konvergensi standar akuntansi yang berlaku secara internasional,” kata Budi.Tuntutan atas transparansi informasi akuntansi yang lebih akurat dan mendalam menjadi semakin meningkat. Para pemangku kepentingan juga menilai, perlu ada penyempurnaan standar akuntansi alias pelaporan neraca. “Standar akuntansi harus benar-benar mencerminkan substansi makna ekonomis dari setiap transaksi keuangan. Ia juga harus bisa mewujudkan representative faithfulness dengan memberikan informasi netral, obyektif, dan transparan untuk melindungi kepentingan publik,” tandasnya.Sebelumnya, Wakil Presiden RI Boediono juga mengungkap hal serupa. Boediono yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur BI meminta perbankan agar lebih serius memberikan informasi tentang kondisinya dengan akurat dan transparan. "Laporan dari bank harus akurat. Sekarang tidak ada lagi alasan untuk menutup-nutupi. Tidak usah window dressing karena yang rugi nanti kita semua. Jangan ada lagi laporan bank yang aneh-aneh," kata Boediono.Percepat PSAK 50/55Maka itu, BI tetap dengan kebijakan menggiring perbankan agar menerapkan PSAK 50/55 sebagai standar pelaporan neraca keuangan terbaru, meski kalangan perbankan banyak mengeluhkan hal tersebut. “Saya berharap komitmen Indonesia untuk implementasi PSAK 50/55. Memang sudah ada transisi hingga 2011 namuan saya minta agar dipacu lebih cepat penerapannya,” kata Budi.Seperti diketahui, kebijakan penerapan PSAK 50/55 diberlakukan efektif mulai 1 Januari 2010 lalu. Namun, dari 120 bank umum, yang sudah siap menerapkan tak sampai 10 bank alias lebih banyak yang tidak siap. Ketidaksiapan perbankan lebih banyak dikarenakan besarnya investasi yang harus digelontorkan untuk penerapan kebijakan baru tersebut. "Investasi IT-nya besar," kata Direktur Utama Bank Himpunan Saudara Farid Rahman.Selain itu, mengubah tradisi yang sudah berjalan lama tentu tak mudah. "Butuh komitmen besar untuk menerapkannya," imbuh Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers Jusuf Wibisana.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bank Dituntut Lebih Transparan dan Jujur Laporkan Neraca
JAKARTA. Transparansi laporan keuangan perbankan menjadi isu penting pasca meledaknya krisis keuangan tahun 2008 silam. Pemaparan informasi terkait kondisi neraca keuangan perbankan yang akurat dan obyektif akan menjadi modal paling penting ketika para pelaku industri bank pun pemangku kebijakan harus mengeluarkan kebijakan krusial merespon ancaman krisis. Ini menjadi salah satu pelajaran berharga dari krisis 2008 yang kemudian digelindingkan menjadi isu.Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya menuturkan hal ini dalam hajatan perbankan tahunan Apconex di Jakarta, Kamis (29/4). Budi menceritakan, pengalaman dari periode krisis silam di antaranya menunjukkan begitu cepatnya risiko counterparty terkerek naik dan kepanikan menyebar cepat. “Ini terjadi karena saat itu tidak ada kepercayaan pada kesehatan dari masing-masing lawan transaksi,” ungkapnya.Isu ini mengemuka menyusul adanya temuan penyelidikan tentang kejatuhan raksasa finansial Lehman Brothers saat krisis menghantam tahun 2008 silam. Dalam hasil investigasi yang dipublikasikan oleh Anton R. Valukas 11 Maret 2010, menggarisbawahi adanya aspek akuntansi atas transaksi repo yang kurang wajar. Itu yang kemudian dikenal sebagai ‘repo 105’ Lehman Brothers. “Hasil penyelidikan tersebut kembali mengingatkan pentingnya konvergensi standar akuntansi yang berlaku secara internasional,” kata Budi.Tuntutan atas transparansi informasi akuntansi yang lebih akurat dan mendalam menjadi semakin meningkat. Para pemangku kepentingan juga menilai, perlu ada penyempurnaan standar akuntansi alias pelaporan neraca. “Standar akuntansi harus benar-benar mencerminkan substansi makna ekonomis dari setiap transaksi keuangan. Ia juga harus bisa mewujudkan representative faithfulness dengan memberikan informasi netral, obyektif, dan transparan untuk melindungi kepentingan publik,” tandasnya.Sebelumnya, Wakil Presiden RI Boediono juga mengungkap hal serupa. Boediono yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur BI meminta perbankan agar lebih serius memberikan informasi tentang kondisinya dengan akurat dan transparan. "Laporan dari bank harus akurat. Sekarang tidak ada lagi alasan untuk menutup-nutupi. Tidak usah window dressing karena yang rugi nanti kita semua. Jangan ada lagi laporan bank yang aneh-aneh," kata Boediono.Percepat PSAK 50/55Maka itu, BI tetap dengan kebijakan menggiring perbankan agar menerapkan PSAK 50/55 sebagai standar pelaporan neraca keuangan terbaru, meski kalangan perbankan banyak mengeluhkan hal tersebut. “Saya berharap komitmen Indonesia untuk implementasi PSAK 50/55. Memang sudah ada transisi hingga 2011 namuan saya minta agar dipacu lebih cepat penerapannya,” kata Budi.Seperti diketahui, kebijakan penerapan PSAK 50/55 diberlakukan efektif mulai 1 Januari 2010 lalu. Namun, dari 120 bank umum, yang sudah siap menerapkan tak sampai 10 bank alias lebih banyak yang tidak siap. Ketidaksiapan perbankan lebih banyak dikarenakan besarnya investasi yang harus digelontorkan untuk penerapan kebijakan baru tersebut. "Investasi IT-nya besar," kata Direktur Utama Bank Himpunan Saudara Farid Rahman.Selain itu, mengubah tradisi yang sudah berjalan lama tentu tak mudah. "Butuh komitmen besar untuk menerapkannya," imbuh Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers Jusuf Wibisana.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News