Bank diusulkan bisa ajukan PKPU dan pailit



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Praktisi dan akademisi hukum bisnis kepailitan menilai perbankan masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ataupun kepailitan.

Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah mantan Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia Ricardo Simanjuntak. Ia menyampaikan, UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU telah tepat mengatur bahwa bank bisa mengajukan pemohonan PKPU dan kepailitan di pengadilan niaga.

Sebab, dalam hal ini perbankan memiliki hak bagaimana mengembalikan kredit (utang) yang telah digelontorkan. Meskipun, utang tersebut ditanggung dengan jaminan, tapi nyatanya saat melakukan eksekusi jaminan bank kerap menemui masalah.


Bahkan tidak sedikit bank yang menempuh jalur hukum hanya untuk eksekusi jaminan. "Kalau mau menempuh gugatan hukum perdata butuh waktu yang sangat lama hingga putusan in kracht, sementara dengan PKPU dan kepailitan diberikan batasan waktu yang jelas memiliki konsekuensi hukum," ungkapnya kepada KONTAN, belum lama ini.

Terlebih, menurut Ricardo, perbankan merupakan pihak pertama yang merasakan efek saat debitur gagal bayar. "UU saat ini telah benar mengatur hal tersebut memberikan rasio keadilan terhadap bank, " tambahnaya.

Hal yang sama juga diutarakan akademisi hukum kepailitan M. Hadi Subhan . Menurutnya, efek dari debitur yang gagal bayar tak hanya dirasakan oleh kreditur konkuren (tanpa jaminan) tapi juga seluruh kreditur, termasuk kreditur separatis (pemegang jaminan) alias para bank.

Sehingga, untuk mengajukan restruktutrisasi utang (PKPU) dan kepailitan berlaku kepada seluruh kreditur. Sekadar tahu saja, isu ini mencuat saat adanya gagasan revisi UU Kepailitan dan PKPU. Yang mana, banyak pihak yang mengusulkan, bank tidak berwenang mengajukan kepailitan dan PKPU lantaran utang telah ditanggung dengan jaminan.

Apalagi, hukum kepailitan di berbagai negara seperti Singapura dan Inggris pun menerapkan hal demikian. Sekadar informasi, kedua negara tersebut mengatur bagi bank yang ingin mengajukan kepailitan diharuskan untuk melepaskan jaminan-jaminannya alias mengubah statusnya menjadi konkuren.

Tak hanya itu, Ricardo juga menyatakan dalam revisi UU Kepailitan nantinya harus diperjelas Pasal 281 ayat2. Pasal tersebut mengatur kompensasi bagi para bank jika tidak menyetujui proposal perdamaian dari debitur. "Sampai saat ini belum diketahuhi secara jelas berapa dan bagaimana dari kompensasi tersebut," terang dia.

Dia berharap di UU Kepailitan nantinya diatur batas tagihan kreditur yang ingin mengajukan kepailitan dan PKPU. Hal ini agar kasus seperti Telkomsel yang dinyatakan pailit 2012 silam tidak kembali terulang. "Berapa batas tagihannya, perlu dikaji lebih lanjut," tutur Ricardo.

Adapun untuk saat ini, tim kelompok kerja (Pokja) penyusunan naskah akademis UU Kepailitan masih bekerja untuk membuat naskah akademis. Sekretaris Pokja dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM Raymond Sitorus mengatakan, saat ini pihaknya masih menyusun kerangka dengan menampung permasalahan dari berbagai kalangan.

"Kami masih melakukan di tingkat awal, mengumpulkan permasalahan dari perbankan, praktisi dan akademisi," ungkapnya. Maka dari itu, naskah yang telah disusun sejak delapan bulan lalu itu ditargetkan rampung pada kuartal III tahun depan dan menjadi RUU pada 2020.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini