Bank Dunia: Kelas menengah banyak tak bayar pajak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia sebut masyarakat kelas menengah Indonesia sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Tetapi dikatakan banyak yang tidak membayar pajak. Ini berpengaruh pada penerimaan pajak dan tax ratio to GDP Indonesia.

Bukan tanpa alasan Bank Dunia sebut kelas menengah sebagai motor penggerak perekonomian. Setengah dari pajak langsung dan hampir seluruh pajak tidak langsung dibayarkan oleh kelas menengah. 43% pemilik bisnis dengan pekerja berbayar pun dari kalangan kelas menengah.

Selain itu, hampir setengah dari total konsumsi rumah tangga disumbang oleh kelas menengah. Mereka ini kelompok yang cenderung berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia untuk generasi mendatang.


Tetapi, berdasarkan paparan ekonom senior Bank Dunia, Matthew Wai-Poi dalam seminar tentang kelas menengah pada Senin (4/12) lalu, banyak dari kelas menengah yang tidak membayar pajak.

Menurutnya, kurangnya partisipasi kelas menengah membayar pajak membuat pendapatan pajak lebih sedikit dibanding negara di regional yang sama. Ini juga berarti pendapatan pajak yang terkumpul tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan.

Hal itu juga ditunjukkan dengan rendahnya tax-to-GDP-ratio Indonesia. Pada 2014, tax ratio Indonesia hanya 10,9% dibanding Thailand yang mencapai 16,5% dan Malaysia sebesar 16,1% pada 2012.

Asumsi ini dibantah pengamat pajak Ronny Bako dan Yustinus Prastowo. Menurut Ronny, ada perbedaan sudut pandang mengenai kelas menengah dan sistem atau mekanisme yang digunakan. “Yang kita kenal di Indonesia kan UMKM dan non-UMKM,” kata Ronny.

Sementara, Yustinus mengatakan kesimpulan Bank Dunia tidak sesuai fakta. “Mereka meloncat,” kata Yustinus yang juga Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Selasa (5/12).

Klasifikasi kelas menegah menurut Bank Dunia adalah mereka yang berpendapatan 1,2-6 juta rupiah. Sementara, di Indonesia berlaku Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 4,5 juta.

Yustinus mengatakan ini artinya negara memang memberikan fasilitas pada mereka, bukan karena tidak mau membayar pajak. “Belum lagi yang pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), mereka membayar 1% (berdasarkan) Peraturan Pemerintah Nomor 46,” kata Yus.

Hal ini juga yang mempengaruhi pandangan mengenai tax-ratio meskipun memang benar adanya tax-ratio Indonesia masih rendah.

Logikanya, terang Yustinus, klasifikasi kelas menengah yang dibuat kemudian menunjukkan jumlah kelas menengah yang seterusnya dikaitkan dengan rasio pajak 10% ini akan menuntun pada simpulan kelas menengah tidak membayar pajak.

Alasannya, kelas menengah dikatakan menopang pertumbuhan tetapi rasio pajak kecil. “Seharusnya kondisi-kondisi itu dipertimbangkan sebagai variable,” tambah Yus.

Jumlah kelas menengah saat ini memang hanya 20% dari total populasi penduduk Indonesia. Tetapi ada potensi dari 45% kelompok yang ingin menjadi kelas menengah. Jika mereka berhasil melakukan mobilitas sosial naik, Indonesia akan menjadi negara masyarakat kelas menengah dengan pendapatan tinggi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui besarnya peran kelas menengah. Dalam pidatonya di seminar yang sama, dia menekankan peran kelas menengah tidak hanya sebagai konsumen dan pencari kerja.

Menurutnya, kelompok kelas menengah adalah sumber kewirausahaan yang bisa menciptakan lapangan kerja. “Sekarang kita harus fokus membangun kelas menengah. Mereka bisa menjadi pendorong pertumbuhan,” kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menambahkan, jika kelas menengah mapan, Indonesia bisa menjadi pemain global yang kuat dengan masyarakat kelas menengah yang kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto