Bank Dunia peringatkan ancaman bubble properti



JAKARTA. Setelah konsultan properti Knight Frank memperingatkan adanya tanda-tanda beberapa sektor properti sudah tak mencerminkan harga sebenarnya alias bubble, kini giliran Bank Dunia (World Bank) memberi peringatan serupa.

Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Quarterly yang dirilis 18 Maret 2013, Bank Dunia menyatakan properti Indonesia bisa berisiko mengalami bubble. Indikatornya adalah terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang tahun 2012, terutama di sektor apartemen, ritel, perkantoran, serta kawasan industri di Jakarta.

Bank Dunia mencatat, harga jual apartemen di Jakarta sampai akhir 2012 sudah naik 43% dibanding akhir 2011 (year on year). Di saat bersamaan, pertumbuhan kredit kepemilikan apartemen (KPA) juga melejit 84% di periode yang sama. Begitu pula kenaikan harga jual perkantoran yang mencapai 43% di periode serupa. Harga sewa kawasan industri juga menanjak hingga 22% di periode yang sama.


Yang jelas, kenaikan harga properti ini berhubungan erat dengan kredit properti yang melonjak 37% di semester I-2012. Adapun kredit kepemilikan rumah (KPR) di periode yang sama juga melejit 47% dibanding periode serupa tahun lalu.

Tapi, masih menurut laporan itu, Bank Dunia mengakui bahwa langkah Bank Indonesia (BI) mulai memberlakukan kebijakan pembatasan nilai pinjaman alias loan to value (LTV) sejak Juni 2012 mampu memperlambat pertumbuhan kredit properti. Selama ini, penyaluran kredit properti hanya mewakili 14% dari total aset bank.

Berapa waktu lalu, Asisten Gubernur BI, Mulya Siregar, menuturkan bahwa sejak ketentuan LTV berlaku, pertumbuhan kredit apartemen terus menurun. "Walaupun dua bulan terakhir di tahun 2012 sedikit naik, secara keseluruhan bubble sektor ini belum signifikan," ucapnya.

Ali Tranghada, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) juga menilai, pernyataan Bank Dunia soal ancaman bubble pasar properti Indonesia terlalu berlebihan. "Pasar properti memang naik signifikan selama tiga tahun terakhir, namun yang terjadi bukan bubble, melainkan overvalued," tegas Ali, Kamis (21/3).

Predikat nilai terlalu tinggi (overvalued) terjadi bila terdapat selisih harga sebesar 15%-20% antara pasar primer dan pasar sekunder. Ali menilai, yang terjadi saat ini adalah pasar akan bergerak menuju arah keseimbangan baru di tahun 2013 ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon