Bank Dunia: Pertumbuhan Produksi Padi Indonesia Kurang 1% Meski Belanja Subsidi Naik



KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Bank Dunia menyoroti pertumbahan produksi padi di Indonesia yang tidak lebih dari 1% di setiap tahunnya. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan berbagai subsidi termasuk pupuk dalam jumlah yang besar. 

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menilai dalam meningkatkan produktivitas pertanian, pemerintah tak bisa hanya mengandalkan belanja subisidi pupuk. Apalagi ada fakta terbatasnya anggaran pertanian. 

"Pengeluaran yang begitu besar untuk satu elemen saja, yaitu pupuk, akan mengesampingkan pengeluaran untuk hal-hal yang mendorong pertumbuhan produktivitas di sektor pertanian," jelas Carolyn dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC), di Nusa Dua, Bali, Jum'at (20/9). 


Baca Juga: Kementan Sosialisasikan Program Strategis 1 Juta Hektare Sawah di Merauke

Carolyn menjelaskan ada banyak biaya lain di luar subsidi pupuk yang perlu dialokasikan dalam mendongkrak produksi padi dalam negeri. 

Misalnya investasi pemerintah dalam penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian. Menurutnya, alokasi anggaran pertanian untuk hal ini justru bisa menguntungkan dan memompa produksi padi petani. 

"Pengeluaran untuk itu biasanya memiliki dampak positif lebih besar kaitanya dengan pertumbuhan produktivitas," ungkapnya. 

Diketahui, pemberian subsidi pupuk memang kerap menjadi perhatian. Pasalnya anggaran untuk pupuk meningkat namun tidak bergaris lurus dengan produksi pertanian. 

Baca Juga: Dapat Anggaran Tambahan Rp 15 Triliun, Kementan Targetkan Cetak Sawah 150.000 Hektar

Pada tahun ini total anggaran subsidi naik menjadi Rp 54 triliun setelah pemerintah menetapkan adanya tambahan volume dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton. 

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menilai penambahan alokasi anggaran subsidi pupuk bukan solusi dalam meningkatkan produktivitas pertanian. 

Menurutnya, masalah yang dihadapi sektor pertanian sangat kompleks, termasuk permasalahan benih, kredit untuk usaha tani, air dan lahan yang semakin terbatas, iklim-cuaca yang sulit diprediksi, keterpisahan antara pasar dengan petani, penyuluhan yang semakin mengecil, dan berbagai masalah lainnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli