KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan bank milik negara (Himbara) berpotensi menyusut besar seiring dengan titik terang aturan hapus buku dan hapus tagih kredit macet di segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Aturan yang dimaksud di antaranya adalah UU 10/1998 tentang Perbankan. Dalam aturan itu dijelaskan apabila bank kesulitan melakukan usaha, maka dapat melakukan penghapus bukuan kredit dan ini berlaku untuk seluruh perbankan. Saat ini, kualitas kredit macet di sektor UMKM, memang dinilai tinggi. Itu juga yang menjadi sebab penyaluran kredit perbankan di sektor ini terbilang sangat hati-hati.
Sebutlah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang per semester I-2023 mencatat NPL segmen usaha menengah terbesar yakni 6%, sementara segmen usaha kecil sebesar 3,6%. Dengan nilai write off pada segmen menengah mencapai Rp 2,21 triliun, sementara segmen usaha keci senilai Rp 2,27 triliun.
Baca Juga: Sudah Sering Lakukan Hapus Buku, Dirut BRI: Aturan Hapus Tagih Tak Berdampak Banyak Adapun PT Bank Rakyat Indonesia mencatat segmen usaha kecil mempunyai rasio kredit bermasalah terbesar yakni 4,29%. Lalu, segmen menengah sebesar 2,70% dan segmen mikro dengan NPL 2,23% per semester I-2023. Angka hapus buku atau write off yang dilakukan BBRI pada periode enam bulan pertama tahun ini meningkat. Dari sebelumnya di semester pertama 2022 senilai Rp 9 triliun menjadi senilai Rp 17,7 triliun di semester pertama 2023. Bank anggota Himbara lainnya PT Bank Mandiri (persero) Tbk (BMRI) mencatatkan NPL segmen UKM 0,98% pada semester I-2023, sedangkan segmen mikro sebesar 1,31%. Dengan total write off mencapai Rp 7,23 triliun. Sementara PT Bank Tabungan Negara (BTN) belum memastikan nilai hapus buku kredit UMKM. Direktur Risk Management Bank BTN Setiyo Wibowo mengaku, masih menghitung potensi kredit UMKM yang akan di hapus tagih. "Karena harus benar-benar dipastikan bahwa debitur tersebut sudah tidak ada potensi atau menjadi korban dari kejadian force majeure. Misal gempa besar, gunung meletus, dan lain-lain," ujar Setiyo kepada kontan.co.id, Kamis (31/8). Kendati demikian, Setiyo menyebut, dampak ke bank sebenarnya tidak ada karena kredit ini sudah dalam off balance sheet bank. Sementara Direktur Utama BRI Sunarso juga menyatakan, aturan tersebut tidak akan berdampak terhadap kinerja perusahaan. Namun demikian, menurutnya memang perlu adanya aturan dari Pemerintah agar tidak terjadi moral hazard. “Bagi BRI ada ketentuan boleh hapus tagih atau tidak ada hapus tagih tidak berpengaruh, karena faktanya sudah kita hapus buku, kita sudah keluarkan dari neraca dan sudah kita cadangkan,” kata Sunarso. Menurutnya, aturan hapus tagih lebih diperlukan bagi nasabah karena memberikan kesempatan kedua untuk mendapatkan kredit lagi. Itu karena namanya nanti bisa dipulihkan dan diputihkan kembali. Sunarso menyebut, sebagai bank yang tergabung dalam Himbara, BRI turut dilibatkan dalam mengkaji rencana aturan pemerintah tersebut. Untuk itu, BRI juga telah mengusulkan ketentuan dan skema awal yang juga telah diimplementasikan oleh BRI dalam proses hapus buku namun belum dihapus tagih.
Baca Juga: Teten: Presiden Setuju Penghapusan Kredit Macet UMKM hingga Rp 5 Miliar Menurutnya,BRI telah memberlakukan hapus buku atau penghapusan pencatatan pinjaman dari neraca (on-balance sheet) dengan kriteria tertentu. Hal itu sesuai dengan kebijakan internal bank, yaitu telah dalam kategori pinjaman macet serta sudah dicadangkan 100%. Belum lama ini, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengaku, masih menunggu pemerintah untuk mengeluarkan aturan hapus buku dan hapus tagih kredit macet di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar dapat diimplementasikan pada bank BUMN yang tergabung dalam Himpunan bank milik negara (Himbara). Pasalnya, usai disetujui oleh Presiden Joko Widodo pada Juli lalu, perlu ada aturan resmi agar bank milik negara tersebut dapat mengimplementasikan penghapusan buku dan penghapusan tagih kredit macet UMKM.
Aturan tersebut nantinya akan keluar dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), namun ia belum bisa memastikan terkait teknis lebih lanjut dan kapan aturan tersebut akan keluar. "Kalau dari kacamata regulasinya, aturan ini akan keluar dari pemerintah, karena terkait dengan bank-bank milik pemerintah, aturan PP-nya kita tunggu, untuk kemudian pada gilirannya akan bisa dilaksanakan," kata Mahendra. Lebih lanjut Mahendra mengatakan ia perlu memeriksa kembali terkait perkembangan dari aturan ini kepada Kementerian Keuangan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi