JAKARTA. Berbagai ramalan optimistis itu tecermin dalam survei beberapa lembaga. Pemeringkat Fitch Ratings, misalnya, memberikan proyeksi perbankan Indonesia stabil. Hal ini merujuk pada pendapatan yang stabil, provisi mencukupi dan permodalan. Bank di Indonesia memiliki pertahanan berlapis menghadapi tantangan. Bank Indonesia (BI) juga menggaransi bank mampu menghadapi krisis. Pertimbangannya, eksposur portofolio luar negeri perbankan hanya 14% atau senilai Rp 93,33 triliun. Jika 100% portofolio itu
default, rasio kecukupan modal atawa
capital adequacy ratio (CAR) akan tetap bertahan di atas 16%. BI juga menjaga konsistensi bunga acuan (BI
rate) dan inflasi rendah. Tahun depan bank sentral menargetkan BI
rate dan inflasi akan berada di koridor 4,5%±1%.
Hal ini tentu menjanjikan kenyamanan bagi perbankan dalam berekspansi. BI memperkirakan, tahun depan negeri ini membutuhkan pembiayaan minimal Rp 598 triliun, atau setara pertumbuhan kredit 26,9% (
yoy), untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 6,3%-6,7%. Mengingat besarnya tantangan itu, perbankan bakal fokus membiayai ekonomi domestik, seraya mengurangi eksposur ke luar negeri. Maklum, krisis global dipastikan melemahkan kinerja ekspor dan impor, di samping tingginya risiko pembiayaan ke luar negeri. Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono, mengatakan, pertumbuhan bisnis bank tahun depan akan bertumpu pada maksimalisasi kelas menengah yang tumbuh signifikan dalam dua tahun terakhir ini. "Pertumbuhan akan terjadi di sektor ritel dan konsumer karena konsumsi kelas menengah cukup tinggi," ujarnya, Jumat (23/12). Salah satu kredit konsumsi yang tetap melejit adalah kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor. KPR tumbuh karena masih banyak penduduk yang belum memiliki rumah. Sedangkan kredit kendaraan bakal terus melesat selama pemerintah gagal menyediakan moda transportasi massal yang nyaman dan murah. "Biaya transportasi umum saat ini hampir sama dengan nilai cicilan motor sebulan," kata Sigit. Kredit infrastruktur Bank sentral memang berencana mengatur KPR dan kendaraan dalam bentuk menaikkan uang muka. Tapi, Sigit meyakini pengaturan ini tak menghambat bisnis bank karena demand kedua jenis kredit tersebut masih sangat besar. Selain kredit konsumsi, pertumbuhan kredit tahun depan juga bergantung pada kredit usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sofyan Basir, mengatakan, sektor ini paling tahan terhadap krisis dan menjanjikan margin tinggi. "Penetrasi pasar untuk kredit ini juga sejalan dengan program
financial inclusion," ujarnya. Kredit infrastruktur juga akan tumbuh pesat tahun depan. Ini terkait dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Pembebasan Lahan dan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam kerangka MP3EI, pemerintah mencanangkan investasi hingga tahun 2014 sebesar Rp 836 triliun yang akan tersebar di enam koridor ekonomi nasional. Sementara UU Pembebasan Lahan akan mengurangi
undisbursed loan alias kredit mubazir yang per Oktober 2011 mencapai Rp 641,711 triliun. Jumlah ini setara 30,47% dari total kredit sebesar Rp 2.106,16 triliun. Dari sisi pendanaan, menurut Darmadi Sutanto, Direktur Ritel dan Konsumer Bank BNI, lini usaha
wealth management bakal menjadi motor pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Alasan dia, permintaan layanan nasabah tajir ini sangat tinggi, sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. "Regulasi BI juga cukup mendukung pertumbuhan bisnis ini," kata Darmadi. Ancaman bisnis bank Di balik kemilau prospek bisnis bank tahun depan, tentu saja terdapat beberapa ancaman.
Pertama, likuiditas valas. Kredit valas tumbuh signifikan, tapi likuiditasnya menurun. Per Oktober 2011, DPK tumbuh 19,2% menjadi Rp 2.587,28 triliun (
yoy), DPK valas hanya menyumbang kenaikan 5,33%. Adapun kredit valas tumbuh 40,6%. Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) menjelaskan, likuiditas ketat akan mencekik bank yang rasio intermediasi atau
loan to deposit ratio (LDR) tinggi. Hingga Oktober, LDR valas perbankan mencapai 81,03%. BI memang sudah mengantisipasi ketatnya likuiditas valas dengan mengeluarkan kebijakan devisa hasil ekspor. Namun, BI tidak mewajibkan dana tersebut mengendap di perbankan. Lagi pula tahun depan kegiatan ekspor agak meredup.
Ancaman
kedua, peringkat
investment grade. Kenaikan
rating Indonesia berdampak ke penurunan premi risiko. Artinya imbal hasil surat utang akan lebih murah. Korporasi cenderung memilih menerbitkan obligasi, ketimbang mengambil kredit korporasi bank. Ancaman
ketiga, efisiensi. Selama ini BI mengkritik perbankan telalu boros dan mematok bunga kredit terlalu tinggi. Hal ini tecermin pada biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO) yang mencapai 86,44% dan
net interest margin (NIM) 5,95%. Padahal BOPO perbankan di ASEAN hanya 40%-60% dan NIM 2-4%. Untuk itu, BI meminta bank mencantumkan agenda efisiensi dalam Rencana Bisnis Bank (RBB), membikin
benchmarking dan mengkaji pemberian hadiah. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: