Bank Indonesia pertahankan suku bunga, apa dampaknya bagi pasar reksadana?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Federal Reserve pada rapat terakhirnya, 17 Maret 2021 memutuskan untuk tetap mengambil kebijakan dovish. Tak hanya itu, The Fed juga diekspektasikan mempertahankan tingkat suku bunganya mendekati nol setidaknya hingga 2023 meskipun harapan pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi kian meningkat. 

Kendati demikian, Infovesta Utama dalam laporan mingguannya yang dirilis pada Senin (22/3) mengatakan, masih ada kekhawatiran bahwa The Fed dapat meningkatkan tingkat suku bunga tahun depan karena terdapat ekspektasi kenaikan inflasi walaupun belum stabil.

“Investor juga mengkhawatirkan akan terjadinya taper tantrum. Salah satu kelonggaran kebijakan yang dikhawatirkan terjadi adalah ketika tingkat inflasi naik, bank sentral perlu mengambil kebijakan untuk kembali meningkatkan tingkat suku bunga acuan untuk menyerap kembali uang yang beredar,” tulis Infovesta Utama dalam laporannya.


Baca Juga: Reksadana pasar uang jadi reksadana berkinerja paling baik dalam sepekan terakhir

Selain itu, pada kesempatan yang sama, The Fed juga tidak memperpanjang aturan yang akan berakhir bulan ini, yakni pelonggaran rasio utang suplementer (supplementary leverage ratio/SLR) perbankan. Dengan tidak diperpanjangnya aturan ini, maka bank tidak lagi bisa memiliki tingkat modal lebih sedikit daripada obligasi pemerintah yang dipegang. 

Infovesta Utama melihat hal ini bisa berdampak pada pelemahan emiten sektor bank di bursa saham Amerika Serikat. Selain itu, hal tersebut juga dikhawatirkan akan membuat perbankan melakukan aksi jual obligasi sehingga membuat imbal hasil obligasi yang sedang dalam tren kenaikan menjadi semakin naik dan membuat harga obligasi semakin tertekan.

Di Indonesia sendiri, Pada 18 Maret 2021, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan tingkat suku bunga di level 3,50%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah perkiraan inflasi yang tetap rendah. 

Meskipun The Fed maupun Bank Indonesia masih mempertahankan tingkat suku bunganya, investor tetap memiliki kekhawatiran besar bahwa akan ada peningkatan inflasi yang dapat berujung pada kenaikan tingkat suku bunga acuan. Hal tersebut disebabkan oleh harapan pemulihan ekonomi yang cepat yang mulai ditunjukkan oleh perbaikan indikator ekonomi dan dimulainya peluncuran program vaksinasi. 

Baca Juga: OJK: Pasar modal Indonesia jadi tempat yang tepat untuk investasi

Apabila hal itu terjadi,  Infovesta Utama menilai terdapat kemungkinan pasar saham maupun obligasi bergejolak. Dari sisi pasar saham sendiri, dapat terjadi sentimen negatif pada keberlangsungan bisnis yang memiliki struktur hutang yang tinggi apabila tingkat suku bunga mengalami kenaikan. 

Sementara dari pasar obligasi, dengan kemungkinan pemangkasan tingkat suku bunga sudah sangat terbatas, maka investor perlu tetap waspada akan kenaikan tingkat suku bunga di tahun depan.

“Oleh karena itu, untuk berjaga-jaga, investor dapat mempertimbangkan reksadana pasar uang dan perlu memantau perkembangan kebijakan ekonomi baik secara global maupun lokal untuk mengambil posisi reksadana berbasis saham maupun obligasi di saat mengalami tekanan,” tutup Infovesta Utama.

Selanjutnya: Prospek reksadana campuran tersokong kinerja aset saham dan obligasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi