Bank Indonesia, rupiah, dan pertumbuhan



Rupiah kembali bergejolak setelah The Fed menaikkan fed fund rate lagi 25 basis poin (bps) menjadi 1,75%–2%dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) 13 Juni lalu, hingga menembus Rp 14.400 per dollar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) merespons dengan sekaligus menaikkan 7 day repo rate sebesar 50 bps ke 5,25%. Bahkan saat lira Turki ikut terdepak, BI kembali merespons dengan menambah kenaikan suku bunga sekitar 0.25 bps lagi. Dalam sisa tahun ini, fed fund rate masih berpeluang dinaikkan lagi dua kali seiring membaiknya ekonomi AS, yang membuat dolar kian menguat terhadap mata uang dunia, tak hanya rupiah.

Respons bank sentral tersebut juga disertai upaya konkret tetap mendorong momen pertumbuhan ekonomi dengan melonggarkan aturan kredit di sektor properti, terkait rasio loan to value (LTV). Sektor properti yang tertimpa beban ganda kenaikan bunga dan melemahnya rupiah memang perlu dibantu agar kembali bergairah, mengingat multiplier effect-nya sangat besar. BI mencatat, sektor ini menggerakkan 50 sektor lain dan mempunyai andil sekitar 15% dari total kredit perbankan.

Kebijakan makroprudensial yang akomodatif melalui relaksasi LTV sektor properti dimaksudkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan, dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Kebijakan yang berlaku per 1 Agustus tersebut meliputi beberapa aspek. Semuanya diharapkan akan mendukung kinerja sektor properti yang dinilai masih berpotensi untuk berakselerasi sekaligus diharapkan dapat memberikan dampak pengganda yang besar pada perekonomian nasional.


Aspek pertama adalah pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio financing to value untuk pembiayaan properti. Kedua, pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden. Ketiga, penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit dan pembiayaan.

Kebijakan makroprudensial tersebut memperkuat kebijakan bank sentral sebelumnya terkait rasio intermediasi makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial yang bertujuan mendorong fungsi intermediasi perbankan dan memperkuat manajemen likuiditas perbankan. Kebijakan tersebut juga bersinergi dengan kebijakan giro wajib minimum (GWM) rata-rata rupiah sebagai bagian dari reformulasi operasional kebijakan moneter yang bertujuan meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan, serta mendukung pendalaman pasar keuangan. Ketiga beleid itu berlaku mulai 16 Juli 2018 untuk perbankan konvensional dan mulai 1 Oktober 2018 untuk perbankan syariah.

Relaksasi LTV dan FTV tentu saja disambut baik oleh pelaku usaha. Dengan adanya energi baru yang dikhususkan untuk pengembang maupun masyarakat konsumen properti tersebut, penjualan properti diprediksi bisa terdongkrak setidaknya 10% pada 2018 ini. Apalagi, BI membebaskan ketentuan LTV untuk pembelian rumah pertama untuk semua tipe.

Pelonggaran LTV bisa membuka pasar baru di kalangan yang selama ini belum mampu memiliki properti, karena kendala besarnya uang muka (DP) yang harus disediakan. Utamanya adalah yang berasal dari kalangan muda yang baru bekerja dan belum banyak simpanan. Tentu saja mereka sangat diuntungkan dengan beleid tersebut.

Kredit single digit

Dari sisi permintaan pun, kebijakan untuk menggerakkan ekonomi semacam ini tentunya harus segera didukung pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan, dan lembaga keuangan yang lain. Misalnya, bunga kredit konstruksi sebaiknya tidak dikerek pasca BI menaikkan bunga acuan, karena tingkat bunga saat ini saja sudah memberatkan para pengembang. Bahkan, bunga kredit konstruksi untuk perumahan non subsidi yang masih mahal, antara 12%–14%-perlu ditekan menjadi single digit.

Bunga jenis ini bisa ditekan dengan dukungan asuransi, agar risiko kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) mendekati nol. Selain itu, perizinan perlu disederhanakan dan dipercepat, terutama di daerah yang masih banyak terdapat ragam regulasi yang menghambat. Sehingga pengembang tak perlu lagi menunggu dalam ketidakpastian dan akhirnya mengalami kerugian. Dengan demikian, akselerasi kredit maupun pertumbuhan ekonomi masih bisa diciptakan di tengah tekanan kuat global.

Sejatinya, kebijakan menaikan suku bunga sejauh ini terbukti lumayan mujarab meredam pergerakan rupiah yang liar. Contohnya, ketika suku bunga acuan naik untuk kedua kalinya di tahun ini, pada 30 Mei lalu, menjadi 4,75%, nilai tukar rupiah langsung menguat. Rupiah meninggalkan level Rp 14.000 per dollar AS dan berangsur-angsur ke posisi Rp 13.800.

Namun persoalan boleh jadi tidak datang dari sisi permintaan sektor properti. Pertama, bisa jadi sektor properti akan tetap bergeliat, pertumbuhan kredit boleh jadi pula tetap bergerak positif. Tapi pertumbuhan kredit secara keseluruhan diperkirakan tetap melambat. Kondisi tersebut diperkirakan akan memperlambat kinerja kredit yang memang sudah sangat lambat selama ini, yakni di bawah 10%.

Dengan kata lain, pelemahan kinerja kredit akan berimbas pada kinerja investasi secara umum. Investasi nasional banyak sedikitnya akan tetap terganggu karena kenaikan tingkat suku bunga. Padahal, selain belanja pemerintah (government spending), investasi adalah salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi nasional yang sangat diharapkan perannya.

Kedua, sebut saja bahwa kebijakan BI tersebut juga akan berpotensi mengerem laju pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga. Bahkan, layaknya investasi, kenaikan suku bunga juga berpeluang memangkas pertumbuhan ekonomi lantaran bunga simpanan dan kredit perbankan akan menyusul kenaikan suku bunga acuan BI di hari-hari mendatang. Bunga simpanan yang naik berpotensi mendorong masyarakat memilih menyimpan uang mereka di bank ketimbang membelanjakan untuk konsumsi di luar kebutuhan utama.

Kalau itu terjadi secara masif, maka konsumsi diperkirakan berpotensi untuk ikut tertekan. Padahal, konsumsi rumah tangga masih menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi nasional pada saat ini. Lihat saja data kontribusinya untuk tahun lalu, konsumsi rumah tangga bahkan menyumbang hingga 56,13% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.•

Ronny P. Sasmita Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi