Bank Indonesia tunda proses akuisisi Danamon



JAKARTA. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini tepat menggambarkan sikap Bank Indonesia (BI) dalam menilai akuisisi tidak langsung DBS Holdings terhadap Bank Danamon. BI baru melontarkan pernyataan tegas, tiga pekan setelah DBS mengumumkan kesepakatan penjualan saham dan harga tender offer.

Gubernur BI, Darmin Nasution menegaskan, DBS harus menghentikan sementara pengalihan saham tersebut. BI tidak bisa memproses proposal akuisisi hingga aturan kepemilikan saham bank rampung.

Ia mengaku menyampaikan langsung informasi itu ke Chairman Monetary Authority of Singapore (MAS), pada pertemuan Bank Dunia di Washington, beberapa waktu lalu. "Saya katakan, permohonan akuisisi DBS ke Danamon akan kami proses setelah aturan mengenai kepemilikan saham selesai," ujar Darmin, Jumat (27/4).


Jadi, kesepakatan awal DBS Grup dan Fullerton Financial Holdings, unit usaha Temasek yang mengendalikan Danamon lewat Asia Financial akhir Maret 2012 lalu, tak berimplikasi apapun ke Danamon. Pengumuman harga tender offer Rp 7.000, juga kehilangan relevansi.

Ini bukti DBS tidak memperoleh perlakuan khusus. Seperti tiga calon investor asing lain, DBS harus menunggu aturan baru terbit. Tiga investor itu, Affin Bank yang ingin mengakuisisi Bank Mestika, RHB Capital terhadap Bank Ina dan China Construction Bank yang mengincar Bank Maspion.

Ketiganya memproses akuisisi sejak 2010. Mereka sudah melakukan due diligence, menyepakati harga, memasukkan permohonan dan siap fit and proper test di BI. Tapi, BI mementahkan upaya mereka, dengan alasan menunggu aturan kepemilikan terbit. "Aturan ini untuk kehati-hatian bukan membatasi asing. Kami akan menyelesaikan dengan cepat," tambahnya. Darmin berjani, aturan tersebut rampung akhir Mei atau awal Juni 2012.

DBS membeli 67,37% saham Asia Financial S$ 6,2 miliar atau setara Rp 45,2 triliun (kurs Rp 7.318 per dollar Singapura). Pembayarannya berbentuk 439 juta saham baru DBS.

DBS berjanji membeli saham publik (tender offer) di harga Rp 7.000 per saham. Padahal, harga Danamon selama 90 hari setelah ata sebelum DBS mengumumkan rencana tersebut, belum menyentuh harga Rp 7.000.

Pengamat perbankan Mochammad Dody Arifianto mengatakan, kebijakan BI realistis dan agak canggung. Realistis karena banyak tekanan publik ke BI untuk menerapkan asas resiprokal.

Canggung karena pemilik DBS dan Danamon sama. Backdoor listing DBS terhadap Danamon merupakan hal wajar, karena Temasek ingin mengkonsolidasikan bank miliknya. "DBS bukan investor yang sama sekali asing di Indonesia," tukas Dody.

Pengamat Pasar Modal, Yanuar Rizki mengatakan, ada dua kesalahan DBS. Pertama, memberikan informasi tidak pasti ke pasar, karena DBS belum mendapat izin BI.

Kedua, menjanjikan tender offer Rp 7.000 per saham dan selesai 6 bulan. Padahal, mereka belum memenuhi semua persyaratan. Di sini ada unsur manipulatif yang membuat investor mengambil posisi beli saham Danamon. "Merugikan publik dan Temasek untung karena harga mark to market Danamon dalam neraca Temasek meningkat," ujarnya

Menurut dia, pernyataan BI bisa menjadi pintu masuk Bapepam-LK menyelidiki kasus ini. Dasar hukumnya, pasal 91 dan 92 UU Pasar Modal. Bapepam-LK juga bisa memberikan sanksi ke pemilik Danamon. "Bisa pidana atau sanksi administasi berupa denda," tukasnya.

Ia bilang, investor minortas yang merasa disesatkan informasi ini, bisa menjadikan keputusan atau sanksi Bapepam-LK sebagai dasar menuntut pemegang saham Danamon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can