Bank kecil menanti suntikan modal pemegang saham



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketatnya likuiditas yang terjadi pada semester I-2019 bikin bank kecil mencatatkan kinerja yang kurang mumpuni. Guna mengatasi tantangan tersebut, sejumlah bank di kelas bank umum kelompok usaha (BUKU) 1, dan BUKU 2 kini tengah menanti suntikan modal dari pemegang sahamnya.

PT Bank Dinar Indonesia Tbk (DNAR) misalnya sepanjang enam bulan awal 2019 lalu mencatat penurunan laba sebesar 82,21% (yoy) dari Rp 5,15 miliar pada semester I-2018 menjadi Rp 917 juta di semester I-2019.

Corporate Secretary Bank Dinar Efdinal Alamsyah menjelaskan perlambatan laba Bank Dinar sejatinya terjadi akibat proses penggabungan dengan PT Bank Oke Indonesia yang telah berlangsung sejak awal 2018 lalu.


“Kami sudah memperkirakan kinerja pasca merger akan melambat dan kurang menggembirakan. Karena biaya yang dibutuhkan memang besar,” katanya kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Pascamerger Bank Dinar dan Bank Oke, Kepemilikan Apro di DNAR Tembus 91%

Untuk menyiasati hal tersebut, Efdinal menjelaskan, pada akhir tahun kelak pemegang saham pengendali yaitu Apro Financial akan menambah modal bank untuk ekspansi kredit guna meningkatkan profitabilitas bank.

Penambahan modal ini akan dilakukan Bank Dinar dengan menggelar aksi rights issue. Targetnya, Bank Dinar bisa menghimpun dana hingga Rp 500 miliar dari aksi ini.

“Rencananya rights issue akan dilakukan pada kuartal IV-2019 dengan target penghimpunan dana hingga Rp 500 miliar sehingga kurang lebih ada 5,5 miliar saham baru yang akan diterbitkan,” sambungnya.

Efdinal menambahkan Apro Financial akan mengeksekusi seluruh penerbitan saham baru tersebut hingga kepemilikannya di Bank Dinar mencapai 92%. Sementara hingga saat ini, Apro Financial di Bank Dinar masih sekitar 77,38%, sedangkan sisa 22,62% dikempit masyarakat.

Saat ini, Bank Dinar masih alam proses mempersiapkan aksi tersebut. Beberapa lembaga pendukung misalnya konsultan hukum, dan akuntan publik pun sudah ditunjuk perusahaan.

Sementara penambahan modal dari Apro Financial ini menjadi langkah awal dari strategi penambahan modal ke bank secara jangka panjang. Targetnya, sejak 2019, tiap tahun Apro Financial akan menyuntik dana senilai Rp 500 miliar selama enam tahun ke depan.

Suntikan modal ini juga dilakukan dalam rangka agar pascamerger dengan Bank Oke, Bank Dinar bisa naik kelas ke BUKU 3 dengan modal inti Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun. Sementara hingga kuartal II-2019 modal inti Bank Dinar sebesar Rp 436,66 miliar, sedangkan modal inti Bank Oke senilai Rp 1,04 triliun.

Di kelas BUKU 2 ada PT Bank BCA Syariah yang juga tengah menunggu suntikan modal akhir tahun ini dari induknya, yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) hingga Rp 1 triliun. 

Meski belum menjelaskan secara detil, Presiden Direktur BCA Syariah John Kosasih bilang, suntikan modal dari BCA akan digunakan untuk ekspansi pembiayaan BCA Syariah.

“Kami ada rencana penambahan modal dari induk pada semester kedua ini, sehingga likuiditas dan modal kami akan solid untuk menunjang pertumbuhan pembiayaan,” kata John kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: BCA Syariah berharap dapat suntikan Rp 1 triliun dari BCA di kuartal III ini

Sepanjang semester I-2019, laba BCA Syariah memang tercatat tumbuh tak lebih dari 1%. Dari Rp 25,20 miliar di semester I-2018 menjadi Rp 25,75 miliar pada semester I-2019. Sementara likuiditas BCA Syariah sejatinya melonggar dari 91,15% pada semester I-2018 menjadi 87,31% pada semester I-2019.

Fungsi intermediasi BCA Syariah juga terglong belum mumpuni. BCA Syariah cuma mencatat pertumbuhan pembiayaan sebesar 4,34% (yoy) dari Rp 4,71 triliun pada semester I-2018 menjadi Rp 4,91 triliun pada periode yang sama tahun ini. 

Sementara penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 8,94% (yoy) dari Rp 5,17 triliun pada semester I-2018 menjadi Rp 5,63 triliun di semester I-2019.

Belum mumpuninya kinerja BCA Syariah sejatinya turut ditopang oleh biaya dana (cost of fund) yang tinggi. Ini disebabkan oleh masih mendominasinya simpanan berbentuk deposito dalam DPK. 

Hingga Juni 2019, BCA Syariah cuma mencatat penghimpunan dana murah alias current account and saving account (CASA) senilai Rp 1,28 triliun atau setara 22,87% dari total DPK.

“Likuiditas perbankan secara industri memang masih cukup ketat dengan LDR di kisaran 94% sementara pertumbuhan DPK masih berada di kisaran 6%. selain BUKU 4, memang harus bersaing ketat menjaring DPK melalui deposito dan biaya dana juga naik secara signifikan,” jelas John.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi