Bank kesulitan likuiditas biayai infrastruktur



JAKARTA. Perbankan nasional mengaku kesulitan likuiditas dalam membiayai pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebab saat ini rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposito ratio (LDR) telah mencapai 90%. Selain itu sumber dana perbankan yang bersifat jangka pendek tidak sesuai dengan pembiayaan infrastruktur yang bersifat jangka panjang.

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, idealnya sebuah negara memiliki anggaran infrastruktur sebesar 8% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jumlah itu sebanding dengan nilai Rp 800 triliun untuk Indonesia. Namun perbankan nasional saat ini hanya bisa berkontribusi sebesar 4%-5% dari PDB. 

"Bank ada masalah. Bank di Indonesia mengalami kesulitan likuiditas. LDR sudah 90%," kata Budi di Jakarta, Rabu (3/9).


Budi bilang kesulitan likuiditas perbankan dapat diatasi dengan membujuk orang kaya di Indonesia untuk menyimpan uangnya di perbankan Tanah Air. Jumlah likuditas orang kaya Indonesia yang menyimpan dana-nya di luar negeri mencapai Rp 1.600 triliun. Angka ini tentu tidak sedikit.

Begitu pula dengan instansi atau perusahaan Indonesia yang menyimpan cadangan dana di luar negeri. Menurut Budi bila dijumlahkan, dana tersebut bisa mencapai Rp 3.200 triliun. "Kita bisa pakai untuk membangun infrastruktur di Indonesia," ujarnya.

Lebih lanjut Budi mengungkapkan bahwa perseroan saat ini membatasi penyaluran kredit infrastruktur. Bank Mandiri membatasi kredit infrastruktur sebesar Rp 90 triliun. Namun, penarikannya baru sebesar Rp 60 triliun-Rp 70 triliun. 

Kredit infrastruktur terbesar disalurkan pada sektor transportasi, yaitu sebesar Rp 25 triliun. Kemudian untuk listrik sebesar Rp 20 triliun, energi sebesar Rp 19 triliun, telekomunikasi sebesar Rp 16 triliun dan jalan sebesar Rp 10 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa