Bank Mandiri mau jual surat utang warisan krisis?



JAKARTA. Hasrat Bank Mandiri melepas obligasi rekapitalisasi tampaknya tak terbendung. Bank terbesar dari sisi aset ini berupaya agar segera bisa melepas surat utang warisan krisis tahun 1998 itu. Maklum, obligasi yang sempat menjadi penyelamat perbankan dari krisis ini kini sudah tak menarik lagi lantaran yield-nya hanya di kisaran 3%.Sebelum ada perubahan referensi penghitungan yield obligasi rekapitalisasi, dari bunga Sertifikat BI tiga bulan ke Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan, bank pemilik obligasi rutin menikmati pemasukan bunga di atas 6% per tahun, tergantung jenis obligasi. Pada 2008 – 2009, bank bahkan menikmati bunga di atas 11%, mengikuti rerata bunga SBI saat itu.

Senyum bankir semakin mengembang karena bank tidak mengeluarkan biaya dana (beban bunga) untuk memperoleh windfall profit ini. Negara menganggarkan bunga obligasi rekapitalisasi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Direktur Keuangan Mandiri, Pahala Nugraha Mansyuri, mengestimasi, jika penurunan yield obligasi sebesar 1%, perseroan kehilangan pendapatan bunga hingga Rp 800 miliar. "Bila penurunannya sampai 2%, pendapatan bunga berkurang Rp 2 triliun,” katanya.


Pahala menargetkan, dalam 6 bulan - 9 bulan ke depan, perseroan bisa melepas obligasi rekapitalisasi Rp 2 triliun - Rp 5 triliun dari total obligasi berstatus available for sale Rp 53,7 triliun. Penjualan bertahap, karena nilai obligasi yang ingin dilepas terlalu besar, sulit menjual sekaligus.

Manajemen terus berkomunikasi dengan semua pihak yang terkait dengan obligasi ini. Antara lain, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan. Ketiga pihak ini kini tengah membahas mekanisme transaksi, sekaligus payung hukumnya.

BI merupakan pembeli potensial, karena bisa menggunakan obligasi rekapitalisasi sebagai alat operasi moneter. Sedangkan Kementerian Keuangan, pihak yang berwenang menentukan penyelesaian obligasi, termasuk mengubah dasar hukum. Mandiri berharap, pemerintah bersedia merestrukturisasi obligasi rekapitalisasi miliknya, termasuk mengubah dari variable rate menjadi fixed rate.

Wajar bila Mandiri berharap perubahan itu. Dengan status fixed rate, pendapatan bunga dari obligasi rekapitalisasi bisa terkerek lagi. Jika mengacu ke obligasi rekapitalisasi fixed rate BNI, rata-rata bunganya di atas 10%.

Sunarsip, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence mengingatkan bank tidak melupakan sejarah krisis. "Nilai aset yang diserahkan pemilik bank tak sampai 30% dari nilai obligasi rekapitalisasi yang diinjeksi ke bank," katanya. Meski dirugikan, pemerintah tetap membayar bunga setiap tahun. Acuannya nilai obligasi rekapitalisasi yang dipegang bank, bukan nilai aset yang berhasil terjual.

Misalkan, bank A menerima obligasi rekapitalisasi Rp 100 miliar. Pemilik menyerahkan aset senilai sama. Tapi, setelah dijual, ternyata hanya laku Rp 30 miliar. Rugi Rp 70 miliar menjadi tanggungan pemerintah. "Sudah rugi di awal, pemerintah membayar bunga dari total nilai," kata mantan komisaris bank itu.

Ironis, setelah menikmati untung besar, bank pemilik obligasi kini mengeluh pemasukan tak setinggi dulu. "Dulu, mereka menganggap obligasi rekapitalisasi sebagai ongkos krisis, mengapa sekarang tidak menganggap yield rendah sebagai ongkos krisis," kata dia. Ia mempersilakan bank menjual obligasi ke BI atau pemerintah, tapi harus diskon. Cara menghitungnya, kata Sunarsip, sederhana. Pertama, hitung total pendapatan bank dari obligasi ini. Hasilnya menjadi pengurang harga, setelah dikurangi inflasi dan pendapatan bunga wajar. Kedua, menghitung total aset yang pernah diserahkan pemilik bank ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lalu bandingkan dengan hasil penjualan aset tersebut. Selisihnya, bisa menjadi komponen pengurang harga obligasi. "Ini paling fair," kata Sunarsip.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri