KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor pertambangan masih dihindari oleh industri perbankan. Padahal, dalam berita yang dimuat di Kontan.co.id (1/5) lalu, sektor ini diprediksi akan tumbuh. Faktor pendorongnya, harga batubara dan nikel saat ini tergolong tinggi dan stabil sepanjang tahun. Meski memang harganya belum tentu akan naik terus, tapi saat ini batubara stabil di kisaran U$ 80 sampai U$ 90 per ton. Harga batubara ini jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu yang berada di kisaran US$ 50 sampai US$ 60 per ton. Data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per Maret 2018, total kredit ke sektor pertambangan dan penggalian turun cukup dalam sebanyak 16,06% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 104,75 triliun.
Dari sisi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL), sektor ini juga tercatat masih tinggi secara industri yaitu 6,27% per Maret 2018. Meski begitu, NPL tersebut lebih baik ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yang sempat menyentuh 7,04%. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menilai meski sektor pertambangan sedang stabil, hal ini belum cukup meyakinkan bagi bank untuk memberi eksposur kredit ke sektor tersebut. Wajar saja, dalam pemberian kredit bank harus menjaga prinsip kehati-hatian agar tak merusak kualitas kredit perseroan. "Tambang khususnya batubara secara bisnis saat ini bagus karena harga sudah naik jadi di atas US$ 100 ton, buat bisnis memang bagus tapi harga ini bisa naik turun dan bank harus bisa memprediksi jangka panjang," kata Jahja kepada Kontan.co.id, Senin (21/5). Lebih lanjut, bank swasta terbesar di Indonesia ini menilai perbankan tidak boleh hanya melihat kondisi secara sesaat. Apalagi, sektor pertambangan terbilang cukup berisiko karena harga yang fluktuatif, sehingga cenderung tak ada jaminan yang kuat bagi perusahaan tambang untuk tetap stabil. Alhasil, Jahja menilai saat ini BCA belum terlalu banyak masuk ke sektor pertambangan khususnya batubara. "Belum terlalu banyak masuk, tapi tidak dihindari juga, kalau pemainnya dikenal dan ada aset lain dan pinjamannya tidak terlalu besar," ungkapnya. Berbeda dengan BCA, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menilai dengan membaiknya serta naiknya harga di beberapa komoditas, pihaknya berharap penyaluran kredit ke sektor ini bakal meningkat.
Meski tidak merinci, Sekretaris Perusahaan BRI Bambang Tri Baroto menilai NPL pertambangan baik secara industri maupun perseroan terlihat membaik. "Hal ini juga dapat dikonfirmasi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi sektor pertambangan pada kuartal I 2018 yang mencapai 0,74% atau lebih baik dari kuartal I 2017 yang -1,22%," ujar Bambang. Sebagai gambaran saja, eksposur BRI ke sektor pertambangan masih terbilang rendah. Dalam presentasi perusahaan, untuk segmen korporasi (BUMN) total kredit yang disalurkan ke pertambangan hanya sebesar 3,32% dari total kredit ke BUMN yang mencapai Rp 91 triliun per akhir Maret 2018. Artinya, jumlah tersebut hanya setara Rp 3,02 triliun. Sementara untuk segmen korporasi non BUMN, total eksposur kredit BRI ke pertambangan baru sebesar 2,6% dari total kredit korporasi Rp 82 triliun, atau setara Rp 2,13 triliun. Kendati demikian, jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan periode tahun sebelumnya yang masing-masing sebesar Rp 192,8 miliar dan Rp 3,04 triliun di kedua segmen kredit. Selain ke segmen korporasi, BRI juga masih menyalurkan kredit pertambangan untuk segmen menengah dan kecil. Sampai kuartal I 2018 total kredit menengah dan kecil BRI ke sektor tambang tercatat sebesar Rp 4,68 triliun atau 3% dari total kredit segmen ini yang mencapai Rp 156,2 triliun."Ke depan, seiring berlangusngnya perbaikan harga komoditas pertambangan ekspansi di sektor ini akan terus meningkat dan permintaan akan pembiayaan baik melalui kredit maupun obligasi, dan MTN akan meningkat juga," tambah Bambang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat