KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perjalanan pemisahan unit usaha syariah (UUS) bank dari induk usaha untuk menjadi sebuah bank umum syariah (BUS) sepertinya tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa kendala hadir, seperti permodalan yang kurang kuat hingga kemampuan BUS baru menggulirkan bisnis. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia No.11/10/PBI/2009 menyebutkan, UUS wajib dipisahkan (
spin-off) dari bank umum konvensional (BUK) apabila nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total nilai aset BUK induknya, atau paling lambat 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah atau pada tahun 2023. Lebih lanjut, PBI tersebut menjelaskan, pemisahan UUS dari bank umum konvensional dapat dilakukan dengan cara mendirikan BUS baru atau mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada. Modal disetor BUS hasil pemisahan paling kurang sebesar Rp 500 miliar dan wajib ditingkatkan secara bertahap menjadi paling kurang sebesar Rp 1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin usaha BUS diberikan.
Bank umum yang tidak menyapih UUS sebagaimana dimaksud pada angka 5 akan dikenakan pencabutan izin usaha UUS. Merujuk aturan tersebut, beberapa bank sudah mulai bersiap untuk melakukan rencana
spin off UUS mereka. Pun, adapula yang berharap agar aturan ini dapat dikaji ulang atau dilonggarkan. PT Bank CIMB Niaga Tbk misalnya, berencana untuk melakukan
spin off UUS pada 2023 atau menjelang batas akhir aturan. Namun, saat rapat dengar pendapat (RDP) Bank CIMB Niaga pekan lalu, Tigor Siahaan, Direktur Utama CIMB Niaga mengatakan, agar aturan
spin off ini dapat dipertimbangkan kembali. Menurutnya, UUS dapat terus berkembang walaupun pun hanya menjadi unit usaha. Dari sisi kinerja, UUS di atas kertas memang lebih baik dari BUS. Bila merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2018, pembiayaan UUS tumbuh 33,12% yoy menjadi Rp 97,13 triliun. Untuk dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 30,30%
year on year menjadi Rp 95,08 triliun. Untuk BUS, pembiayaan hanya tumbuh 6,69% yoy menjadi Rp 190,58 triliun dan DPK tumbuh 14,83% yoy menjadi Rp 244,82 triliun. “Kita berharap dapat terus berkontribusi sebagai UUS saja dan tidak menjadi BUS. Yang penting sehat dan terus berkembang,” ujar Tigor. Pun, Iman Nugroho Soeko, Direktur Keuangan Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), berpendapat memang ada kekawatiran bahwa UUS akan sulit untuk tumbuh setelah menjadi BUS. “Betul kekawatiran itu, karena klo di-
spin off modalnya harus dipisahkan dan pastinya akan kecil (sangat) dibanding modal induknya maka legal lending limitnya jadi kecil, sehingga tidak bisa mengambil kredit yang besar walaupun yields dan risikonya bagus. Sehingga pertumbuhan sangat terbatas,” jelas Iman. Solusinya yakni harus menambah modal agar dapat tumbuh, namun ada beberapa pertimbangan tentunya sebelum menambah modal kepada BUS baru itu seperti keterbatasan modal induk. Atau, induk harus rela kepemilikannya terdelusi oleh investor baru yang akan masuk. BTN sendiri masih tetap pada rencana awal yakni akan spin off di tahun 2023. Lain soal, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim) terpaksa harus menunda rencana
spin off mereka di 2018 menjadi di tahun 2019. Pasalnya, mereka harus menunggu keputusan pemegang saham yakni Pemda terkait penyertaan modal. Ferdian Satyagraha, Direktur Keuangan Bank Jatim mengatakan, dari sisi persyaratan OJK, pihaknya sudah sangat untuk melakukan
spin off, namun BUS yang baru ini akan berstatus BUMD sesuai arahan OJK. Untuk menjadi BUMD, Pemda harus menjadi pemegang saham pengendali dengan melakukan penyetoran modal ke BUS baru. “Saat ini Bank Jatim sudah melakukan setoran modal Rp 502 miliar, Pemda harus menyetor Rp 525 miliar atau 51%. Itu yang kami tunggu kemampuan APBD, sementara di revisi RBB kami masukkan (
spin off) di 2019,” ujar Ferdian. PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (Bank Sumut) justru berbeda, Bank milik Pemda Sumut ini dipastikan akan melakukan
spin off pada akhir tahun ini. Edie Rizliyanto, Direktur Utama Bank Sumut mengatakan, dari sisi persyaratan OJK sudah rampung. Bahkan pihaknya telah melakukan penyertaan modal sebesar Rp 270 miliar. Terkait penyertaan modal tambahan dari Pemda nantinya akan diajukan pada saat rapat umum pemegang saham (RUPS). “Semester 2 akan proses beberapa hal termasuk 3 hal yang menjadi perhatian, aspek SDM, fokus bisnis dan permodalan,” ujar Edie. Terkait kekawatiran untuk tumbuh memang ada, terutama terkendala dari size bisnis yang kecil. Disisi lain, Adiwarman Karim, Pengamat Industri Keuangan Syariah mengatakan, perbankan konvensional yang memiliki UUS sebenarnya jangan terlalu khawatir UUS mereka akan sulit untuk tumbuh. Ada beberapa konsep seperti sinergi dengan induk usaha untuk dapat berkolaborasi dari sisi bisnis yang membuat BUS kelak akan tetap memiliki kemampuan untuk tumbuh sebesar induk mereka.
“Juga ada konsep legal
spin off dengan konsep platform sharing dengan induknya. Nah, dengan konsep legal
spin off yg membolehkan platform sharing, bisa jadi solusi BUS baru,” ujar Adiwarman. Menurutnya konsep ini pun sudah dilakukan oleh beberapa bank umum syariah di Indonesia. Dan, terbukti dari sisi bisnis mereka dapat tumbuh lebih baik. Adiwarman menambahkan, aturan PBI terkait spin off sudah selayaknya untuk terus dijalankan tanpa adanya perubahan. Aturan ini juga sudah melalui kajian yang tentunya akan menjadi kebaikan kepada perbankan syariah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia