KONTAN.CO.ID - TOKYO. Bank of Japan (BOJ) baru-baru ini melakukan evaluasi kritis terhadap kebijakan moneter yang diterapkan oleh mantan gubernur Haruhiko Kuroda, yang memimpin bank tersebut selama satu dekade. Evaluasi yang dirilis pada Kamis ini menyoroti bahwa kebijakan stimulus besar-besaran yang diterapkan Kuroda, meskipun berusaha untuk mengubah psikologi konsumen dan memerangi deflasi, tidak berhasil seefektif yang diharapkan.
Kritik Terhadap Kebijakan Stimulus Kuroda
Dalam ulasan tersebut, BOJ mengakui bahwa meskipun kebijakan stimulus yang diterapkan Kuroda memiliki beberapa efek pada perekonomian, namun dampaknya terhadap perubahan persepsi publik tentang inflasi tidak sebesar yang diinginkan.
Baca Juga: Belum Dilantik Tapi Trump Sudah Bikin Kalang Kabut Ekonomi Global dengan Kebijakannya Salah satu tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mengubah pola pikir deflasi yang mendalam di kalangan masyarakat Jepang, namun kenyataannya, kebijakan tersebut gagal mempercepat inflasi hingga mencapai target 2% yang diinginkan oleh BOJ. Kazuo Ueda, gubernur BOJ saat ini yang menggantikan Kuroda, mengungkapkan bahwa ada ketidakpastian yang lebih besar dari yang diperkirakan mengenai efek yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter besar-besaran tersebut. Ia juga memperingatkan bahwa efek samping dari kebijakan ini, beberapa di antaranya mungkin belum muncul, bisa bertahan lebih lama dari yang diantisipasi dan bahkan bisa menjadi lebih besar di masa depan.
Kebijakan Kuroda: Menghadapi Deflasi yang Bertahan Lama
Selama 25 tahun, Jepang menghadapi deflasi dan stagnasi ekonomi yang memaksa BOJ untuk menjadi pelopor dalam kebijakan moneter yang tidak konvensional, seperti suku bunga negatif dan pelonggaran kuantitatif. Kebijakan-kebijakan ini kemudian diadopsi oleh bank sentral global lainnya, seperti yang terjadi selama krisis keuangan global dan pandemi COVID-19, meskipun mereka mampu mengurainya lebih cepat ketika ekonomi mereka pulih.
Baca Juga: Jepang Temukan Harta Karun Senilai Rp 421,3 Triliun, Masa Depan Negeri Sakura Cerah! Kebijakan yang paling kontroversial dimulai pada 2013, ketika Kuroda memperkenalkan skema pembelian aset besar-besaran yang kemudian dipadukan dengan suku bunga negatif dan kontrol imbal hasil obligasi. Namun, meskipun skema ini meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Jepang sebesar 1,3% hingga 1,8%, inflasi hanya meningkat antara 0,5% hingga 0,7%. Sejak mengambil alih posisi gubernur pada April tahun lalu, Kazuo Ueda telah memulai tinjauan terhadap kebijakan moneter tidak konvensional yang digunakan BOJ selama 25 tahun melawan deflasi. Sebagai hasil dari tinjauan tersebut, BOJ mulai mengurangi ketergantungannya pada kebijakan-kebijakan tersebut, dengan mengakhiri beberapa program besar pada Maret dan menaikkan suku bunga jangka pendek menjadi 0,25% pada Juli.
Evaluasi Terhadap Kebijakan Kuroda: Keberhasilan dan Kegagalan
Tinjauan yang dilakukan oleh BOJ mencoba memberikan pandangan yang seimbang dengan menganalisis kebijakan Kuroda yang berhasil dan yang tidak. Menggunakan model ekonomi, hasil tinjauan menunjukkan bahwa meskipun kebijakan stimulus tersebut dapat mempengaruhi persepsi publik tentang pergerakan harga di masa depan, hal ini tidak cukup untuk mencapai target inflasi 2% yang diinginkan oleh BOJ.
Baca Juga: Tokyo Resmi Terapkan 4 Hari Kerja dalam Seminggu, Tujuannya untuk Atasi Krisis Ini Penelitian lainnya menunjukkan bahwa meskipun stimulus besar-besaran BOJ memberikan dorongan pada tingkat PDB, dampaknya terhadap inflasi jauh lebih kecil dari yang diharapkan. Para pejabat BOJ berharap tinjauan ini dapat menyelesaikan perdebatan pahit antara pendukung dan penentang kebijakan Kuroda. Namun, beberapa akademisi yang memberikan komentar terhadap tinjauan ini meragukan apakah BOJ telah cukup mengkritisi kekurangan dari kebijakan-kebijakan tersebut.
Hiroshi Yoshikawa, profesor emeritus di Universitas Tokyo, mengkritik tinjauan tersebut yang lebih menyoroti mentalitas deflasi yang terpatri di Jepang daripada mengkritisi teori yang mendasari kebijakan stimulus Kuroda. Menurut Yoshikawa, data jelas menunjukkan bahwa kebijakan pelonggaran moneter besar-besaran BOJ gagal mencapai inflasi 2%. Ia berpendapat bahwa masalah utama adalah kesalahan dalam kerangka teoritis kebijakan tersebut.
Editor: Handoyo .