Bank perlu waspadai tiga sektor kredit



JAKARTA. Dalam menyalurkan kredit, bank menghadapi berbagai risiko. Yang paling utama, risiko kredit bermasalah (NPL). Jika statusnya meningkat menjadi macet dan susah direstrukturisasi, tingkat kesehatan bank bakal terganggu. Bank pun mengurangi penyaluran kredit ke sektor yang berpotensi menyebabkan NPL tinggi.

Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Dody Arifianto mengatakan, ada beberapa sektor ekonomi yang perlu mendapat perhatian lantaran kreditnya sudah memasuki indikator kurang lancar. Berdasarkan data LPS per April 2012, sektor usaha mencatatkan NPL di atas 3% antara lain, perindustrian sebesar 3,3%, konstruksi sebesar 4,3% dan perdagangan, restoran dan hotel sebesar 3,5%.

NPL di sektor perdagangan muncul karena pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menurun pada 2012 menjadi 8,7%. Tahun sebelumnya PDB tumbuh 9,2%. Kondisi ini menyusutkan pendapatan debitur, sehingga kemampuan mereka mengangsur kredit ikut berkurang.


Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) Maret 2012, kredit macet sektor industri sebesar Rp 12,29 triliun atau naik 5,7% (year on year/yoy). Sedangkan, NPL kredit konstruksi naik 44% menjadi Rp 3,62 triliun. Kredit perdagangan besar dan eceran naik 0,2% menjadi Rp 13,37 triliun.

Bentuk antisipasi

Menurut Dody, bank perlu mengantisipasi kenaikan NPL ini dengan mendiversifikasi penerima kredit, sehingga tidak ada ketergantungan kepada satu segmen debitur. Saat ini ada beberapa bank yang mayoritas portofolio kreditnya pada satu sektor. Misalnya Bank Tabungan Negara (BTN), sebanyak 86,7% kredit merupakan kredit pemilikan rumah alias KPR (konsumer).

Direktur Business Banking Bank BNI, Krishna Suparto, mengatakan, di BNI rasio NPL kredit industri mencapai 3%. Tapi, masih aman, karena batas kredit macet tertinggi sebesar 5%. Peningkatan NPL debitur ini lantaran bisnis tidak selalu mulus. Ada beberapa perusahaan BUMN dan swasta yang mengalami kredit macet. Namun, Krishna tidak dapat memaparkan identitas mereka.

Untuk menjaga kualitas kredit, bank berlogo 46 ini menentukan target market yang ketat. Misalnya perusahaan memiliki rekam jejak baik dan bisnisnya tidak bermasalah. BNI juga memilih debitur yang sumber dananya tidak bergantung dari pinjaman bank. Menurutnya, jika seluruh sumber dana mengandalkan bank, ada potensi kegagalan berbisnis dapat menyebabkan kredit macet.

Krishna menambahkan, sebelum merestrukturisasi, pihaknya akan memastikan penyebab kredit macet. Jika karena kondisi ekonomi, akan ada toleransi, seperti penurunan bunga kredit atau tenor pinjaman. Namun, jika penyebabnya faktor struktural, bank akan meminta perusahaan menjual aset. "Atau bisa sebagai agunan, yang terpenting aset mereka dijual agar bisnis bisa berjalan," tambah Krishna.

Direktur Bisnis Kelembagaan dan BUMN Bank Rakyat Indonesia (BRI), Asmawi Syam, mengklaim rasio NPL pada sektor industri, dan konstruksi terjaga. Kedua sektor ini masuk dalam jenis kredit korporasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: