Bank sentral dunia siapkan kebijakan untuk hadapi lonjakan pasar obligasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral telah membantu menyelamatkan ekonomi dunia dari depresi saat pandemi melanda. Sekarang mereka menghadapi bagian yang sulit yaitu mengelola pemulihan di tengah perbedaan pendapat dengan investor.

Dilansir dari Bloomberg, Senin (8/3), program vaksin dan kebijakan stimulus pemerintah yang berkelanjutan menawarkan jalan keluar dari masalah Covid-19. Hal ini juga meningkatkan imbal hasil obligasi serta berpotensi menaikkan inflasi di Amerika Serikat (AS) ke level tertinggi dalam satu dekade.

Guna mengantisipasi hal itu, bank sentral di berbagai belahan dunia berencana mempertahankan bunga kredit dan rasio dana murah untuk ekspansi. Dalam dua minggu ke depan, Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa serta rekan-rekan mereka di Jepang, Inggris, dan Kanada kemungkinan besar akan mengeluarkan kebijakan untuk memastikan pemulihan ekonomi dan menghindari krisis.  


Sementara itu, bank sentral menyambut kenaikan imbal hasil obligasi sebagai sinyal positif atas prospek ekonomi ke depan. Namun mereka juga khawatir ada lompatan yang tidak terkendali sehingga melemahkan program pemulihan ekonomi.

Baca Juga: Mulai pulihnya ekonomi AS berpotensi menekan rupiah dan obligasi Indonesia

Menurut mereka, peningkatan inflasi akan didasarkan pada koreksi sementara dari penurunan tahun lalu. Terlebih, jumlah pengangguran yang tinggi akan terus menahan tekanan harga di pasar.

Kepala ekonom untuk Asia Pasifik di ING Bank NV Rob Carnell menilai, terjadi perubahan yang mencolok dari tahun lalu, ketika dunia mati suri untuk melawan pandemi Covid-19. Sementara bank sentral menanggapi dengan bantuan moneter senilai US$ 9 triliun yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Bank sentral menghadapi tantangan baru," kata Rob.

Bank of Canada (BOC) pertama kali mengadakan pertemuan pada 10 Maret lalu ketika pembuat kebijakan cenderung mempertahankan banyak stimulus untuk memperkuat pemulihan. Gubernur BOC Tiff Macklem menilai, pemulihan juga dibarengi perubahan strukturual seperti melalui digitalisasi.

Sedangkan, Presiden European Central Bank (ECB) Christine Lagarde menyoroti bagaimana ekonomi di kawasan Eropa jauh tertinggal dari AS karena pelaksanaan program vaksin yang lambat dan pembatasan wilayah yang diperpanjang.

Sebelumnya, pembuat kebijakan di ECB mengejutkan investor karena meremehkan kekhawatiran mereka. Perbankan menyebut, program penerbitan obligasi cukup fleksibel untuk mengatasi pengetatan yang tidak beralasan tetapi gagal memberikan bukti bahwa mereka mempercepat penyerapan surat utang.

Di belakang pikiran mereka, kemungkinan besar kondisi akan menjadi pengalaman berharga. Sebab, pada tahun 2011 suku bunga dinaikkan dua kali untuk memerangi inflasi yang lebih cepat dan akhirnya terjadi krisis keuangan yang memburuk. Kemudian kawasan eropa masuk ke jurang resesi.

Kemudian giliran Bank of Japan (BOJ) pada 18-19 Maret depan akan meninjau bagaimana bank akan mengontrol dampak kenaikan imbal hasil, suku bunga negatif, dan pembelian aset.

Gubernur BOJS Haruhiko Kuroda mengatakan bank sentral berusaha membuat  kebijakannya yang lebih efektif melalui penyempurnaan. Dia juga mengisyaratkan tidak akan ada perubahan pada rentang pergerakan di sekitar target imbal hasil selama 10 tahun.

Sementara bank sentral negara maju kemungkinan akan bersatu dalam menjanjikan stimulus yang sedang berlangsung. Sementara pejabat China sudah memberi sinyal sebaliknya. Ketua Komisi Regulasi Perbankan dan Asuransi China Guo Shuqing khawatir terhadap risiko yang muncul dari gelembung di pasar keuangan global dan sektor properti.

Selanjutnya: Sejumlah sentimen berikut akan mewarnai pergerakan IHSG pekan ini

Editor: Khomarul Hidayat