JAKARTA. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pemerintah menetapkan target pembangunan 700.000 unit rumah pada 2016. Berbagai skema pembiayaan pun ditempuh guna memenuhi target tersebut. Salah satunya adalah dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan (FLPP). Namun, skema ini belum bisa mewujudkan pembangunan 700.000 tersebut. Dengan demikian, pemerintah menerapkan subsidi selisih bunga.
Saat ini, baru PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN yang menerapkan skema ini. Menurut Direktur Perencanaan Pembiayaan perumahan, Direktorat Jenderal Pembiayaan perumahan Kementerian PUPR Poltak Sibuea, bank lain masih enggan, karena 100 persen dana pokok KPR milik bank. "Kami sedang mengajak terutama bank swasta nasional yang besar dan bank umum pemerintah supaya maulah ikut berkontribusi di situ," ujar Poltak kepada Kompas.com, di Jakarta, Selasa, (24/5/2016). Poltak menjelaskan,di satu sisi, Bank BTN juga harus cari modal untuk bisa menjalankan kredit dengan nilai besar, terutama Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dengan kata lain, BTN harus menyeimbangkan capital adequacy ratio (CAR). Saat ini, BTN juga dipertanyakan apakah memiliki modal pokok untuk bisa menyalurkan kredit dalam jumlah besar. Hal ini masih menjadi masalah bagi BTN. Alternatifnya, pemerintah harus mencari bank lain supaya tidak semua beban itu dipikul oleh BTN. "Kalau secara bisnis tidak ada masalah buat banknya. Tapi, penilaian terhadap kemampuan BTN menyalurkan KPR oleh Bank Indonesia (BI) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbatas. Semakin besar KPR yang disalurkan, harus seimbang dengan modal yang dia miliki," jelas Poltak. Jika modal BTN terbatas atau tidak bertambah, tutur Poltak, maka penyaluran KPR harus direm. Pasalnya, BTN rentan untuk mengalami kebangkrutan. Sementara itu, Poltak menjelaskan, subsidi selisih bunga cukup efektif untuk menambah jumlah penyaluran KPR. Seperti diketahui, dana dari pemerintah juga terbatas.
Dana penyaluran ini disetujui oleh Kementerian Keuangan dengan mememberikan kuasa pengguna anggaran (KPA) yang dipenuhi oleh Direktur Jenderal Pembiayaan perumahan. Skema ini membuat pemerintah bisa membayar selisih bunga yang ditanggung oleh bank. "Karena, bank ini kan hanya dapat pengembalian bunga 5 persen dari masyarakat. sementara bunga pasar yg dipikul bank itu kan 12 persen. Maka 7 persen dananya itu kita kompensasi dengan subisidi selisih bunga tadi," kata Poltak. (Penulis: Arimbi Ramadhiani) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan