KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah memberlakukan aturan mengenai giro rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) per 1 Oktober 2018 bagi Bank Umum Syariah (BUS). Aturan ini antara lain tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.20/4/PBI/2018 yang dirilis pada 3 April 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang berlagi bagi Bank Umum Konvensional (BUK), BUS, dan Unit Usaha Syariah (UUS). Sejumlah bank umum syariah yang dihubungi Kontan.co.id, Minggu (11/11) sepakat terkait aturan tersebut lantaran ditujukan untuk membuat kondisi likuiditas serta permodalan bank syariah agar berada di level aman.
PT Bank BNI Syariah misalnya yang menyebut pihaknya sudah mempersiapkan aturan tersebut. Direktur BNI Syariah Dhias Widhiyati menerangkan pihaknya mendukung ketentuan mengenai RIM karena dinilai dapat mendorong perbankan syariah untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi. "BNI Syariah sudah siap dalam pelaksanaan kebijakan RIM tersebut yang berlaku pada 1 Oktober 2018 lalu," kata Dhias. Anak usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) ini menerangkan semua komponen-kompenen perhitungan RIM telah disimulasikan oleh BNI Syariah. Menurut pantauan BNI Syariah, kini kondisi likuiditasnya tetap dalam kondisi sehat. Hal serupa juga dilakukan BNI Syariah terkait penetapan PLM. Dhias beranggapan, ketentuan baru terkait PLM ini menuntut bank untuk memiliki high quality asset yang mencukupi. Selain itu, rancangan aturan baru ini disematkan agar seluruh bank termasuk bank syariah meiliki likuiditas yang baik dalam kondisi normal maupun krisis. Asal tahu saja, kondisi rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (
Financial to deposit ratio/FDR) BNI Syariah tercatat ada di level 80% per September 2018. Posisi ini menurun dari 81,4% di periode yang sama tahun sebelumnya. Sampai dengan akhir tahun, Dhias mengatakan pihaknya bakal menjaga FDR minimal sebesar 80%. Berbeda dengan BNI Syariah, PT Bank BCA Syariah justru beranggapan lain. Presiden Direktur BCA Syariah John Kosasih mengatakan walau kondisi likuiditas dengan adanya ketentuan baru tersebut akan lebih baik, tidak menutup kemungkinan bahwa penyaluran pembiayaan alias kredit di perbankan bakal mengalami perlambatan. Sebabnya, dalam ketentuan baru tersebut perbankan harus mengatur likuiditasnya sesuai dengan perhitungan baru. Alhasil, penyaluran kredit dinilai bakal melambat atau bahkan pemegang saham akan menyetor tambahan modal kepada anak usaha syariah, lantaran ketentuan ini juga berkaitan erat dengan kondisi
capital adequacy ratio (CAR) bank syariah. "Ketentuan ini relate dengan KPMM atau CAR, karena ketentuan tersebut maka perbankan harus mengatur likuiditas dan penyaluran (pembiayaan) akan melambat, atau bahkan pemegang saham akan setor modal," katanya. Wajar saja, menurut John bagi perbankan yang memiliki modal seret maka kapasitas untuk ekspansi akan loyo. Pasalnya, aturan RIM dan PLM untuk bank syariah ini mengharuskan bank untuk memenuhi rasio permodalan (CAR) minimal sebesar 14%. Selain itu, aturan RIM dan PLM ini juga mensyaratkan beberapa ketentuan likuiditas tertentu yang harus dipenuhi bank. Antara lain mengenai batas bawah dan atas likuiditas bank syariah yang saat ini berlaku adalah di level 80%-92%. Namun, anak usaha PT Bank Central Asia Tbk (BCA) ini mengaku tak khawatir lantaran pihaknya juga sudah mengkalkulasi hal tersebut. Malahan, John menilai untuk tahun ini dan tahun depan rata-rata pertumbuhan pembiayaan BCA Syariah diprediksi masih sesuai target yaitu di kisaran 12%-15%. "Kami tetap akan melakukan ekspansi secara prudent dan menargetkan sekitar 12%-15% pertumbuhan pembiayaan," ujarnya. Sementara itu, Pengamat Perbankan Syariah sekaligus Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia (KCI), Adiwarman A. Karim menilai selain berkaitan dengan rasio likuiditas dan permodalan, aturan ini juga berkaitan dengan kualitas pembiayaan bank. Malah menurutnya, yang perlu dibedakan oleh regulator adalah mengenai perhitungan
non performing loan (NPL) atau non performing financing (NPF) agar benar-benar mencerminkan kemampuan bayar nasabah. Dengan kata lain, agar rasionya tidak
understated alias sesuai dengan kondisi bank. "Misalnya, NPL kredit investasi selalu lebih rendah kurang lebih 1% dibandingkan NPL kredit modal kerja. Sehingga perlu analisa terpisah antara NPL kedua jenis kredit tersebut. Apalagi bila pertumbuhan kredit investasi terlihat lebih cepat daripada
behavior-nya," kata Adi sapaan akrab Adiwarman. Selain itu, bila membandingkan antara bank syariah dan konvensional maka hal tersebut tidak selamanya sesuai. Alasannya, rata-rata pertumbuhan kredit bank konvensional memang lebih cepat daripada pembiayaan bank syariah (secara industri). Di sisi lain, kredit bermasalah tidak sepenuhnya menggambarkan kemampuan nasabah membayar karena banyaknya kredit infrastruktur yang mendapat fasilitas kredit untuk membayar bunga saat konstruksi, dus selama masa
grace periode kreditnya akan selalu lancar. Hal ini pun membuat NPF terlihat lebih besar daripada NPL karena dua hal tersebut. "Karena beberapa alasan di atas, maka penerapan RIM dan PLM di bank konvensional dan bank syariah harus dilakukan dengan cermat sesuai karakteristik masing-masing bank," jelasnya. Meski begitu, Adiwarman menilai regulasi RIM dan PLM yang dikeluarkan oleh BI di kondisi saat ini sudah sangat tepat dan diperlukan. Utamanya, aturan ini digalakkan agar setiap bank dapat mengantisipasi turbulensi ekonomi global yang dampaknya semakin terasa pada perekonomian domestik. Sebagai gambaran saja, dalam aturan RIM dan PLM ini bank syariah diharap mampu memperkuat intermediasi dan meningkatkan ketahanan perbankan syariah. Dengan aturan ini bank syariah diperbolehkan untuk menambah komponen surat berharga terhadap perhitungan likuditas.
Batas bawah dan atas likuditas bank syariah setelah aturan ini berlaku besok adalah 80%-92%. Sedangkan untuk permodalan minimal 14%. Bagi unit usaha syariah, rasio permodalan ini mengukuti induk. Sedangkan surat berharga yang dimiliki yang menjadi perhitungan dalam RIM adalah dalam bentuk sukuk korporasi. Sedangkan surat berharga yang diterbitkan adalah dalam bentuk MTN syariah dan sukuk selain subordinasi. Sedangkan untuk PLM bank syariah besarannya adalah 4% dari dana pihak ketiga (DPK) bank syariah. Nantinya surat berharga untuk PLM Syariah dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka, dengan jumlah paling banyak ditetapkan sebesar 2% dari DPK bank syariah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi