KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang tahun 2019, pelaku usaha disarankan untuk mulai mengajukan pinjaman kredit investasi (KI). Sebab, peluang di tahun depan pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) akan semakin terbuka lantaran ekonomi di dalam negeri akan mulai pulih atau
rebound. Selain itu, saat ini sebenarnya kondisi ekonomi di Tanah Air relatif stabil artinya akan ada momen pertumbuhan ekonomi akan lebih kencang di tahun depan. "Sesunggunya, dalam kondisi yang relatif stabil itu saatnya pelaku usaha investasi, apalagi menjelang pemilu," kata Kiryanto, Sekretaris Perusahaan PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk di Jakarta, Rabu (21/11).
Bila tidak segera berinvestasi, maka pelaku usaha akan kesulitan untuk menangkap peluang peningkatan permintaan di tahun depan pasca Pilpres. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengamini bahwa memang peluang ekonomi akan rebound cukup terbuka di tahun depan. Namun masalahnya, tidak semua bank mampu memenuhi kebutuhan kredit invetasi. Salah satu penghalangnya menurut Jahja adalah ketersediaan likuiditas rupiah. Bank bersandi emiten BBCA ini menilai kondisi likuiditas perbankan saat ini tengah seret. Hal ini tercermin dari
loan to funding ratio (LFR) bank secara industri sudah mendekati 94%. Posisi ini praktis sudah melebihi batas prudential yang dipatok oleh Bank Indonesia (BI) yakni 92%. "Dari segi prospek bisnis saya setuju (kredit investasi), yang jadi penghalang adalah ketersediaan likuiditas rupiah. Dimana LFR industri sudah mendekati 94% yang berarti likuiditas sudah lampu kuning," jelas Jahja. Lebih lanjut menurutnya, bank yang tingkat LFR sudah di atas 94% harus mulai berbenah alias konsolidasi agar mampu menangkap permintaan kredit. Disamping itu, pihaknya juga sepakat kalau KI agak dihindari perbankan lantaran saat ini sebagian besar bank, pendanaannya mengandalkan dana jangka pendek. Sebagai informasi saja, sampai dengan September 2018 lalu posisi LFR BCA memang cenderung meningkat dari 74,7% pada September 2017 menjadi 80,9% walau masih jauh di bawah rata-rata industri. Senada dengan Jahja, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Haryono Tjahjarijadi mengatakan pihaknya memang ogah untuk salurkan KI. Wajar, memang sebagian besar kredit perseroan masuk ke kredit modal kerja (KMK) atau sekitar 85% dari total kredit. Sementara sisanya masuk ke kredit konsumer. Penyebabnya, menurut Hary sapaan akrab Haryono selain kredit investasi membutuhkan dana yang cukup besar serta jangka waktu yang lama. Hal ini menjadi sulit bagi bank yang pendanaannya masih mengandalkan jangka pendek seperti dana pihak ketiga (DPK). "Sebagian besar kredit (Bank Mayapada) KMK, dan kami belum tertarik untuk memberikan kredit investasi mengingat pendanaan perbankan umumnya masih jangka pendek disamping nilai kredit investasi umumnya besar atau sangat besar," jelasnya. Di lain pihak, Direktur Utama PT Bank BRI Agro Tbk Agus Noorsanto mengatakan a pihaknya memang cenderung lebih menyalurkan KI ketimbang KMK. Berdasarkan penjelasan Agus, porsi kredit investasi BRI Agro mencapai 60% sementara 40% sisanya ada di KMK. "Kalau BRI Agro, porsi KI dibanding KMK hampir 60:40, kebetulan di Agribisnis, karena kami banyak pembiayaan kebun dan pabrik termasuk sarana transportasi," katanya. Anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) ini menambahkan ke depan pertumbuhan kredit BRI Agro masih akan banyak di KI. Apalagi, dikaitkan dengan kondisi kepastian makro ke depan dan akan membaiknya ekonomi pasca Pilpres memang investasi menjadi pilihan tepat. "Cukup terbuka untuk peningkatan dan potensi KI di 2019, karena didukung juga beberapa faktor seperti nilai tukar dan suku bunga yang sudah bisa terprediksi," tuturnya. Namun, meski akan ada peningkatan dari sisi KI, Agus memprediksi porsinya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini yaitu 60% dan 40% antara KI dan KMK di BRI Agro. Sebagai informasi saja, berdasarkan data statistik perbankan Indonesia (SPI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mayoritas kredit perbankan masuk ke jenis KMK. Dari total kredit per September 2018 yang mencapai Rp 5.120,09 triliun, sebanyak Rp 2.423,63 triliun atau 47% masuk ke KMK.
Sementara KI tercatat sebesar Rp 1.267,24 triliun atau baru sebesasr 24,75% dari total kredit. Sementara sisanya sebesar Rp 1.429,21 triliun masuk ke jenis kredit konsumsi (KK). Bila dirinci, sebenarnya KI sudah tumbuh signifikan sebesar 11,82% secara tahunan atau
year on year (yoy) per September 2018. Namun faktanya, pertumbuhan tersebut masih lebih rendah kalau dibandingkan dengan KMK yang tercatat naik 13,76% secara yoy pada periode yang sama. Walau lebih tinggi sedikit dibandingkan kredit konsumsi yang naik 11,66%. Sementara dari sisi rasio kredit bermasalah atau
non performing loan (NPL), kredit investasi sebenarnya memiliki NPL lebih rendah dibandingkan KMK yakni 2,64% per September 2018, sedangkan NPL KMK sebesar 3,2%. Posisi NPL KI juga sudah menurun jauh dibandingkan setahun sebelumnya yang sempat menyentuh 3,24%. Sebaliknya, NPL KMK belum banyak bergerak dari posisi September 2017 yakni 3,46%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi