Bankir skeptis, transparansi bunga kredit bisa menggiring turun NIM bank



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) boleh sangat optimistis penerapan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) akan menggiring penyempitan margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan. Namun, sebaliknya para bankir justru agak skeptis penurunan NIM bisa terwujud.

Ini terungkap dari hasil survei perbankan Price WaterhouseCoopers (PwC) terhadap senior eksekutif di 100 bank di Indonesia. Ashley Wood, Penasihat Teknis PwC Indonesia, mengungkapkan, lebih dari 49% bankir melihat NIM tahun ini akan stagnan di level seperti tahun lalu.

Penyebabnya, inflasi dan penerapan premi risiko (risk premium) yang lebih tinggi, dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Risiko kredit juga tetap menjadi risiko utama, kendati rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) tetap stabil di 3%.


Para bankir juga mencermati masih tingginya risiko likuiditas dan risiko operasional. "Lebih dari 50% bankir menilai, risiko yang akan dihadapi perbankan adalah tingkat penipuan yang masih tinggi seperti pada 2010 lalu," ujar Wood. Contohnya, kasus pembobolan ATM.

Mengutip data BI per Januari 2011, rata-rata NIM bank saat ini 5,59%, melandai dibandingkan NIM di 2010 sebesar 6,18%. Direktur Kredit Bank Mega Daniel Budirahaju mengatakan, NIM perbankan saat ini sudah ideal. "SBDK hanya akan mendorong bank lebih transparan. Tidak akan mengubah pricing perbankan karena kondisi sekarang sudah ideal," ujarnya.

Namun menurut Wakil Direktur Utama Bank Bank Tabungan Negara (BTN) Evi Firmansyah, tahun ini NIM bank akan menurun, kendati belum seperti seperti keinginan BI, yaitu di bawah 4%. Meski potensi kenaikan inflasi ada, bank cenderung menahan kenaikan bunga kredit. "NIM tinggi hanya milik bank-bank yang bergerak di sektor mikro, kecil dan menengah, bunga kredit mereka sangat tinggi," ujarnya.

Sedangkan menurut Direktur Utama Bank BNI Gatot M. Suwondo, salah satu cara praktis menurunkan NIM adalah meningkatkan fee based income.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can