JAKARTA. Program Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyasar warga miskin agar mereka mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa perlu membayar premi JKN. Namun, apakah program tersebut tepat sasaran? Pada kenyataannya, sebagian warga memanfaatkan program PBI padahal tidak semua warga tersebut miskin. Sebagian warga yang tergolong mampu bahkan ikut mendaftar menjadi peserta PBI. Mereka mendapat pelayanan sama dengan peserta JKN yang membayar premi.Kondisi ini terjadi karena puskesmas tidak ikut memantau peserta program PBI-JKN. Aparat pelaksana program tidak mengetahui kemampuan ekonomi sesungguhnya dari peserta PBI-JKN akibat tidak adanya survei dari fasilitas pelayanan kesehatan primer. Peserta hanya melampirkan keterangan tidak mampu dari RT/RW, kelurahan, dan kecamatan, tanpa ada survei lanjutan dari puskesmas."Program PBI-JKN beda dengan yang dulu. Kalau yang dulu puskesmas ikut memantau apakah warga tersebut betul miskin, sebelum mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sekarang puskesmas tidak ikut memantau dan langsung mengeluarkan surat keterangan," kata Purwati Asih (44), peserta PBI-JKN, Jumat (28/2) seperti dikutip dari Kompas Health.Bukan warga miskin? Dampaknya, warga lebih mudah mendaftar menjadi peserta PBI-JKN meski memiliki kemampuan ekonomi baik. Bahkan, tak sedikit warga yang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui JKN tanpa membayar premi."Padahal ada warga yang kelihatannya doang enggak mampu padahal rumah di kampungnya besar. Ada juga warga sini yang nyata-nyata kaya tapi tetep aja minta keterangan tidak mampu," kata Purwati yang bersuamikan pengurus RT, dan tinggal di Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Menurut Purwati, 60% warga di tempat tinggalnya merupakan peserta PBI-JKN. Sementara sisanya belum mendaftar kepesertaan JKN. Meski terdaftar sebagai penerima bantuan iuran JKN, warga di tempat tinggal Purwati memiliki rumah permanen beserta barang-barang elektronik di dalamnya. Termasuk Purwanti yang memiliki rumah permanen lengkap dengan peralatan elektronik, serta tiga motor. Namun ia beralasan masih berhak menjadi peserta PBI-JKN karena suami berpenghasilan tidak tetap. "PBI ini kesempatan, jadi harus digunakan sebaik-baiknya. Apalagi uang yang dipakai itu adalah uang kita dari pajak dan lain-lain, jadi wajar kalau kita juga ikutan," katanya. Kategori miskin Menanggapi hal ini, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur mengatakan, kewenangan menetapkan kategori miskin bukan pada BPJS atau Kementrian Kesehatan RI. Hal ini sepenuhnya kewenangan Kementrian Sosial RI, yang datanya kemudian menjadi acuan BPJS dan Kemenkes RI. "Memang data warga miskin boleh menyusul, namun jumlahnya baru akan ditetapkan Juni 2014. Untuk sekarang pendaftaran PBI sudah ditutup sejak Juli 2013. Namun hal ini dikembalikan lagi pada Kemensos RI," kata Fajriadi. Menurut BPS RI, kategori miskin adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7000 per hari. Perhitungan ini tidak didasarkan atas pendapatan, namun pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar misalnya sandang. (Rosmha Widiyani)
Bantuan iuran JKN salah sasaran?
JAKARTA. Program Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyasar warga miskin agar mereka mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa perlu membayar premi JKN. Namun, apakah program tersebut tepat sasaran? Pada kenyataannya, sebagian warga memanfaatkan program PBI padahal tidak semua warga tersebut miskin. Sebagian warga yang tergolong mampu bahkan ikut mendaftar menjadi peserta PBI. Mereka mendapat pelayanan sama dengan peserta JKN yang membayar premi.Kondisi ini terjadi karena puskesmas tidak ikut memantau peserta program PBI-JKN. Aparat pelaksana program tidak mengetahui kemampuan ekonomi sesungguhnya dari peserta PBI-JKN akibat tidak adanya survei dari fasilitas pelayanan kesehatan primer. Peserta hanya melampirkan keterangan tidak mampu dari RT/RW, kelurahan, dan kecamatan, tanpa ada survei lanjutan dari puskesmas."Program PBI-JKN beda dengan yang dulu. Kalau yang dulu puskesmas ikut memantau apakah warga tersebut betul miskin, sebelum mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sekarang puskesmas tidak ikut memantau dan langsung mengeluarkan surat keterangan," kata Purwati Asih (44), peserta PBI-JKN, Jumat (28/2) seperti dikutip dari Kompas Health.Bukan warga miskin? Dampaknya, warga lebih mudah mendaftar menjadi peserta PBI-JKN meski memiliki kemampuan ekonomi baik. Bahkan, tak sedikit warga yang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui JKN tanpa membayar premi."Padahal ada warga yang kelihatannya doang enggak mampu padahal rumah di kampungnya besar. Ada juga warga sini yang nyata-nyata kaya tapi tetep aja minta keterangan tidak mampu," kata Purwati yang bersuamikan pengurus RT, dan tinggal di Kelurahan Rawa Buaya, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Menurut Purwati, 60% warga di tempat tinggalnya merupakan peserta PBI-JKN. Sementara sisanya belum mendaftar kepesertaan JKN. Meski terdaftar sebagai penerima bantuan iuran JKN, warga di tempat tinggal Purwati memiliki rumah permanen beserta barang-barang elektronik di dalamnya. Termasuk Purwanti yang memiliki rumah permanen lengkap dengan peralatan elektronik, serta tiga motor. Namun ia beralasan masih berhak menjadi peserta PBI-JKN karena suami berpenghasilan tidak tetap. "PBI ini kesempatan, jadi harus digunakan sebaik-baiknya. Apalagi uang yang dipakai itu adalah uang kita dari pajak dan lain-lain, jadi wajar kalau kita juga ikutan," katanya. Kategori miskin Menanggapi hal ini, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan Fajriadinur mengatakan, kewenangan menetapkan kategori miskin bukan pada BPJS atau Kementrian Kesehatan RI. Hal ini sepenuhnya kewenangan Kementrian Sosial RI, yang datanya kemudian menjadi acuan BPJS dan Kemenkes RI. "Memang data warga miskin boleh menyusul, namun jumlahnya baru akan ditetapkan Juni 2014. Untuk sekarang pendaftaran PBI sudah ditutup sejak Juli 2013. Namun hal ini dikembalikan lagi pada Kemensos RI," kata Fajriadi. Menurut BPS RI, kategori miskin adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7000 per hari. Perhitungan ini tidak didasarkan atas pendapatan, namun pada kemampuan memenuhi kebutuhan dasar misalnya sandang. (Rosmha Widiyani)