BantuSaku Sebut Turunnya Jumlah Kelas Menengah Bisa Jadi Ancaman Naiknya Kredit Macet



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sebanyak 9,4 juta penduduk kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan status ke kelompok aspiring middle class selama periode 2019-2024. 

Akibatnya, jumlah kelas menengah menurun menjadi 47,85 juta orang pada 2024, dan berakibat pada pelemahan daya beli. Lantas bagaimana dampaknya kepada industri fintech peer to peer (P2P) lending?

Menanggapi hal ini, Direktur Utama BantuSaku Arnoldyth Rodes Medo mengatakan, penurunan jumlah kelas menengah bisa menjadi salah satu faktor peningkatan risiko kredit macet di industri P2P lending. 


Menurut dia, jika kelas menengah turun maka kemampuan bayar juga akan ikut anjlok dan berimbas terhadap kredit macet. Oleh sebab itu, Arnold menilai bahwa kondisi ini menjadi perhatian khusus dari semua penyelenggara P2P Lending untuk meningkatkan profiling risiko dan melakukan pemantauan terhadap sektor usaha yang berdampak.

“Tentunya hal tersebut dilakukan demi meminimalisir peningkatan kredit macet," kata Arnold kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9).

Di sisi lain, dia menilai untuk saat ini perusahaan P2P Lending sudah sangat hati-hati dalam memberikan pinjaman kepada borrower dan terus meng-upgrade machine learning dari masing-masing platform. Sehingga, fasilitas pembiayaan yang diberikan sudah benar-benar tepat sasaran dengan risiko yang terukur.

Baca Juga: Ini Sejumlah Sumber Penerimaan Pajak dari Kelas Menengah

Sedangkan di BantuSaku sendiri, Arnold mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan inovasi pada teknologi khususnya machine learning, meningkatkan skill dan performa SDM perusahaan yang adaptif, hingga kolaborasi dengan ekosistem pendukung untuk menghasilkan produk yang unggul.

"DI BantuSaku sendiri TKB90 masih mencapai 100%, artinya kondisi kinerja kami masih aman," imbuhnya.

Adapun hingga September 2024 ini, BantuSaku telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 15,18 triliun kepada 1,51 juta borrower.

Lebih lanjut, dia menilai bahwa kinerja industri P2P Lending akan terus bertumbuh. Hal ini selaras dengan regulator yakni OJK yang terus memperbaiki iklim usaha pada P2P Lending dengan mengeluarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No.19/SEOJK 06/2023, aturan ini mengatur tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).

Dengan begitu, Arnold bilang, P2P Lending terus mengimplementasikan dan menyesuaikan dengan peraturan yang terbaru untuk menciptakan proses akuisisi yang lebih baik, serta edukasi ke masyarakat yang semakin masif terkait dengan konsekuensi gagal bayar di P2P Lending resmi yang berizin di OJK

"Karena ke depannya P2P Lending akan terkoneksi dengan SLIK OJK, yaitu sesuai peraturan terbaru terkait Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) adalah POJK Nomor 11 Tahun 2024," kata dia.

Selain itu, Arnold menilai untuk mencegah kredit macet, industri P2P Lending juga harus memperketat proses user acquisition dan terus memperbarui machine learning platform agar menghindari risiko gagal bayar ke depannya, mengingat biaya yang dikeluarkan pada sisi teknologi sangat tinggi pada industri P2P Lending.

Baca Juga: PPN DTP 100% Tidak Signifikan Kerek Penjualan Apartemen Ciputra (CTRA)

Selanjutnya: Tembalang dan Banyumanik Jadi Area Favorit Pencari Rumah Seken di Semarang

Menarik Dibaca: Cara Memperbaiki Instagram Story Tidak Dapat Diunggah Beserta Penyebabnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati