Banyak Dampak Negatif, Ekonom Minta Kenaikan Tarif PPN 12% pada 2025 Ditunda



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk tidak gegabah dalam menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025.

Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyarankan pemerintah untuk menunda terlebih dahulu rencana kenaikan tarif PPN meski telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Jangan dulu berusaha untuk menaikkan 12% di 2025," ujar Tauhid kepada Kontan.co.id, Minggu (28/1).


Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Emiten Properti yang Mendapat Angin dari PPN DTP

Menurutnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan berdampak kepada penurunan daya beli masyarakat, terutama masyarakat bawah. Selain itu, beberapa sektor ritel juga ikut akan terdampak dari kenaikan tarif PPN tersebut.

Berdasarkan studi yang pernah dilakukan Indef saat kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan dan beberapa sektor akan tertahan bahkan menurun.

"Gejalanya akan sama seperti itu. Artinya, oke penerimaan negara bisa naik, tetapi pertumbuhan ekonomi gak akan tinggi. Apalagi 2025 banyak yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 5%," katanya.

Untuk itu, pemerintah tidak perlu terburu-buru dalam menaikkan tarif PPN menjadi 12% dan menunggu momentum yang tepat. Menurutnya, pemerintah bisa mengenakan tarif PPN menjadi 12% pada saat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 5,3%.

"Jadi ekonominya tumbuh dulu baru ada kenaikan. Tapi kalau ekonominya belum tumbuh dibandingkan masyarakat ya justru akan menjadi kontra produktif," imbuh Tauhid.

Baca Juga: Ini Hitungan Emiten Properti soal Aset yang Kena PPN DTP

Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar tidak mempermasalahkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. Yang terpenting adalah cara mengelola kebijakan seperti dampaknya ke infasi maupun mengelola dampaknya terhadap distribusi ekonomi.

Fajry bilang, kenaikan tarif 1% pada tahun 2022 merupakan sebuah keberhasilan. Di mana, dampak terhadap inflasi terjaga dan terhadap kelompok bawah bisa diminimalisir.

"Semua melalui pengelolaan kebijakan melalui bantuan sosial (bansos) dan pengendalian inflasi yang melibatkan pemerintah daerah," kata Fajry.

"Jadi, jalankan saja sesuai UU, yang penting itu pengelolaannya," imbuhnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .