KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri
financial technology (
fintech) menjadi industri yang paling banyak mendapat laporan dan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan data OJK dari 1 Januari 2022 hingga 9 Desember, ada sebanyak 298.627 layanan yang diberikan OJK. Sektor
fintech berkontribusi paling banyak dengan mencapai 21,54% dari total layanan. Lima topik utama pengaduan
fintech yang diterima OJK antara lain mengenai perilaku petugas pengaduan, restrukturisasi, penipuan, kegagalan dan keterlambatan transaksi dan permasalahan bunga, denda dan penalti. Menurut Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah, tidak semua pengaduan tersebut disebabkan oleh kelalaian pelaku industri
fintech. Dia bilang, banyak kasus
fintech tidak bisa ditimpakan kesalahannya ke pelaku industri
fintech. Contohnya pinjaman
online ilegal.
Piter menjelaskan, pinjol ilegal paling banyak menimbulkan masalah dan kegaduhan. Sesungguhnya bukan terjadi karena
fintech, melainkan bentuk penipuan yang menggunakan atau berkedok
fintech.
Baca Juga: Paling Banyak Mendapat Pengaduan dan Laporan, Pelaku Industri Fintech Buka Suara Akan tetapi, Piter menuturkan, bukan berarti semua
fintech sudah berjalan sempurna. Banyak hal yang memang harus diperbaiki oleh
fintech, misalnya saja
fintech peer-to-peer (P2P)
lending. Lebih lanjut, seharusnya pelaku
fintech P2P lending tidak lepas tangan terhadap pengelolaan dana yang dilakukan oleh peminjam, walaupun seleksi penyaluran dana dilakukan oleh pemilik dana, tetapi perusahaan
fintech seharusnya tetap bertanggung jawab dengan melakukan monitoring atau pengawasan bagaimana dana digunakan. "Sehingga, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," jelas Piter saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (23/12). Piter menambahkan, dalam hal ini asosiasi bisa berperan mendorong anggotanya agar para pelaku industri
fintech terus mengembangkan sistem pengawasan dan manajemen risiko. "Sehingga, kepercayaan pemilik dana terhadap
fintech tidak terganggu," pungkas Piter. Di lain pihak, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyampaikan,
fintech sebaiknya lebih selektif lagi dalam menyaring calon peminjam. Terlebih, kondisi ekonomi sedang penuh ketidakpastian tahun depan. Bhima menuturkan, penggunaan teknologi AI dalam melakukan deteksi risiko kredit memang penting, tapi tetap perlu mempelajari kemampuan bayar dengan data-data pendukung, misalnya sertifikat jaminan dan lain sebagainya. "
Fintech juga didorong menyalurkan lebih besar porsi pembiayaan produktif badan usaha skala UKM yang jauh lebih rendah tingkat
Non Perfoming Loan dibanding pinjaman konsumsi pribadi," ujar Bhima saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (23/12). Adapun menurut Bhima, sebenarnya sudah ada kode etik di asosiasi yang mengatur
fintech, tapi diharapkan kepatuhannya lebih baik.
Baca Juga: Risiko Meningkat, Jumlah Pemberi Pinjaman Fintech Masih Bertumbuh Selain itu, Bhima bilang penyusunan standar operasional dalam
credit scoring juga penting, sehingga variabel penyusunan risiko kreditnya lebih dioptimalkan. Anggota juga perlu diberi tugas untuk selalu melakukan literasi kepada calon peminjam, sehingga persepsi bahwa pinjaman
fintech tidak perlu dibayar harus dihapus. Lebih lanjut, setiap peminjam punya tanggung jawab yang sama untuk mengembalikan dana plus bunga atau denda keterlambatan. Terkadang, calon peminjam hanya tau
fintech cepat prosesnya, tapi tidak baca detil konsekuensi pembayaran bunga dan tepat waktu dalam bayar cicilan. Selain itu, sebagian calon peminjam lebih didasarkan pada coba-coba, disebut sebagai
digital lending tourist, tertarik karena promo tapi setelah dicoba lalu tidak bisa membayar tagihan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi